SUBALTERN
Ø
Pengertian Subaltern
Istilah subaltern mula-mula digunakan
dan diperkenalkan oleh seorang Marxis Italia Antonio Gramsci sebagai
kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas
yang berkuasa. Kelas subaltern di samping tertindas
mereka juga tidak memiliki akses kepada kaum elite dan
cenderung diabaikan.
Menurut
Gayatri Chakravorty Spivak subaltern adalah subjek yang tertekan,
para anggota ‘klas-klas’-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang
berada di tingkat inferior. Subaltern memiliki dua
karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme
pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut bahwa subaltern tidak
bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya.
Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan
kondisinya, sehingga perlu kaum intelektual sebagai “wakil” mereka.
Ø
Gagasan dan Konsep
yang Melahirkan Subaltern
Kajian subaltern tidak dapat dilepaskan dengan
berbagai gagasan dan konsep yang membentuknya. Berikut ini beberapa gagasan dan
konsep tersebut:
a. Teori Poskolonialisme
Poskolonialisme
adalah istilah yang menggambarkan sikap penduduk terjajah baik terhadap
penjajah asing maupun terhadap penguasa patriarkal pribumi yang menindas. Sikap
penentangan dilakukan terhadap budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk
mencari perpaduan yang seimbang antara budaya yang dimiliki mereka yang
terjajah dengan budaya dominan yang selama ini mendominasi sebuah masyarakat.
b. Identitas dan Politik Identitas
Manusia
sebagai individu maupun kelompok dalam hubungannya antar manusia dilekatkan
berbagai latar belakang berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender,
orientasi seksual, dan sosial budaya. Perbedaan berbagai latar belakang ini
yang membentuk identitas. Setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya
eksistensi sosial. Pada dasarnya identitas berkaitan dengan apa-apa saja yang
membedakan individu atau kelompok dengan yang lainnya atau dengan kata lain
identitas erat hubungannya dengan “perbedaan”.
Ø
Kaum-kaum Subaltern
Kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik
dan tidak mampu menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan
tidak berada jauh dari pandangan kita. Pandangan yang dicanangkan kaum dominan menjadikan
kaum subaltern sulit mengakses ranah publik. Perlakuan berbeda dan
tindakan yang tidak menyenangkan dari kelompok dominan terhadap kelompok subaltern memunculkan
perlawanan baik dari dalam kelompok sendiri maupun terhadap aktor lain yaitu
lingkungan sekitar dan negara. Perlawanan telah ditunjukkan kaum-kaum subaltern
seperti buruh, petani, waria, etnis Tionghoa di Indonesia, dan lain sebagainya.
Berikut ini bebrapa contoh dari mereka:
a. Buruh
Pengaruh
kapitalisme yang mendunia, kaum buruh menjadi kelompok yang menjadi sasaran
hegemoni dari kelas atas yaitu majikan dan kaum elit. Pandangan umum mengenai
kaum buruh merupakan kelompok kelas bawah yang tertindas dan terpinggirkan.
Dalam segi ekonomi, mereka tergolong lemah dan tidak memiliki akses untuk
mengembangkan diri. Adanya diskriminasi yang mereka alami seperti upah rendah
dan tunjangna yang sangat minim.
Sebagai
kaum subaltern perjuangan kaum buruh untuk menuju kehidupan
yang lebih baik, mereka membentuk sarikat sebagai bentuk representasi untuk
berelasi dengan kaum elit. Serikat buruh ini merupakan suatu bentuk kesamaan
rasa dalam memperjuangkan perbaikan yang menyeluruh untuk segala aspek
kehidupan, terutama persoalan ekonomi.
b. Waria
Kaum
waria dapat digolongkan sebagai kelompok kelas bawah yang mengalami penekanan
dan diskriminas dari kelas dominan. Terpinggirnya waria dari ranah
publikberkaitan dengan identitas transeksual yang dimilikinya yang belum
mendapat pengakuan dari masyarakat pada umumnya. Kondisi sosial masyarakat saat
ini hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan.
Budaya
dominan masyarakat yang hanya mengakui identitas laki-laki dan perempuan
menyebabkan kaum waria mengalami diskriminasi dalam kelompok masyarakat.
Diskriminasi yang dialami kaum waria berhubungan erat dengan stereotype dari
masyarakat umum bahwa kaum waria dekat dengan hal negatif. Dalam hal ini
penyimpangan seksualitas, penderita HIV/AIDS dan juga digolongkan
sebagai komunitas yang memiliki tingkat pendidikan rendah yang tidak mempunyai
ketrampilan selain berdandan. Kaum waria sebagai subaltern dipahami dengan
melihat pendiskriminasian dari kelompok masyarakat lain.
Diskriminasi
dalam kaum waria terbagi kedalam diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi
langsung berupa pembatasan bagi waria untuk mengakses wilayah tertentu seperti
daerah pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum, dan lain sebagainya.
Diskriminasi tidak langsung terjadi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang
menjadi pembatas kelompok waria untuk berhubungan dengan kelompok lain. Posisi
waria yang terpinggirkan dalam ranah publik ini mengalami diskriminasi dalam
akses administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Misalnya
dalam pembuatan KTP sebagai bentuk pengakuan menjadi warga negara Indonesia,
KTP juga menjadi prasyarat untuk mengakses hak-hak politik dan sebagai alat
untuk mengakses pelayanan publik lainnya. Sering mengalami kesulitan dalam
pembuatannya, mulai dari prasyarat yang dibutuhkan seperti Kartu Keluarga (yang
jarang dimiliki oleh Waria yang tereksklusi dari keluarganya), penegasan
identitas waria dalam KTP (karena hanya terdapat dua jenis kelamin pilihan
kelamin yakni laki laki dan perempuan), juga dalam foto yang digunakan dalam
KTP (waria harus berfoto dengan wajah “aslinya”
sebagai laki-laki). Belum adanya pengakuan dari pemerintah ini yang membatasi waria untuk menegaskan identitasnya.
sebagai laki-laki). Belum adanya pengakuan dari pemerintah ini yang membatasi waria untuk menegaskan identitasnya.
Waria
sebagai subaltern tidak memiliki kemampuan untuk memperjuangkan
dirinya sendiri. Organisasi waria memiliki peran penting dalam mewujudkan
pengakuan masyarakat terhadap identitas waria. Berusaha merubah paradigma
negatif tentang waria menjadi yang lebih positif dalam kehidupan sosial. Upaya
dilakukan dengan pernyataan dalam berbagai aktivitas diskusi baik formal maupun
non formal dengan masyarakat luas, dan juga melalui media tulisan untuk membuat
suatu wacana. Selain elite waria, akademisi juga berperan dalam
merepresentasikan identitas waria dengan melakukan penelitian dan kajiannya
yang berpengaruh pada identitas waria.
Kaum subaltern yang
tereksklusi ini, dapat memberi pengaruh dan tekanan pada elit. Seperti contoh
pada kalangan waria yang seharusnya mendapat pengakuan dalam ranah pemerintah
ini, memerlukan pembuatan suatu kebijakan untuk kalangan waria, agar tidak
tereksklusi dalam ranah publik. Kaum subaltern juga bisa
menjadi kelompok penekan terhadap suatu kebijakan pemerintahan dengan kekuasaan
yang dimiliki oleh kalangan ini. Meski terdapat kalangan yang memilih dalam
ranah yang berbeda dalam lingkup dominan, bukan berarti perbedaan tersebut menempatkan
mereka sebagai kaum minoritas yang termarginalkan dan terekskusi dalam ranah
publik. Apalagi dengan adanya perbedaan bentuk perlakuan pada kalangan ini yang
cendrung diskriminatif sungguh membuat hak-hak mereka menjadi tidak
terekonstruksi secara nyata.
c. Etnis Tionghoa
Etnis
Tionghoa di Indonesia yang tidak mempunyai cukup ruang untuk mengekspresikan
apa yang menjadi kebudayaannya. Di Indonesia sendiri terdapat dikotomi warga
negara berdasarkan perbedaan etnik. Dikotomi pribumi dan non-pribumi menjadi
persoalan etnis dan pada gilirannya menyebabkan permasalahan identitas.
Tionghoa selalu dicitrakan sebagai pendatang sehingga identitas non-pribumi
selalu dilekatkan kepadanya, sebagai penguasa ekonomi, dan memiliki identitas
homogen. Citra ini dibentuk oleh kaum dominan dan ditumbuhkan secara terus
menerus. Identitas mereka sering didefinisikan secara paksa oleh kaum dominan,
terlebih lagi negara yang demi mempertahankan hegemoni kekuasaannya berperan
menjalankan politik identitas. Tidak hanya pergulatannya dalam identitas bangsa
tetapi juga berhadapan dengan struktur dan budaya lokal.
Salah satu kasus subaltern :
“Persoalan Perempuan
Seni Tradisi”
Meneliti
kehidupan perempuan seni tradisi hampir dipastikan akan menemui dua persoalan
besar. Pertama, seni tradisi yang menempati posisi tidak
menguntungkan, khususnya jika dibandingkan dengan kehadiran jenis seni lain
yang sifatnya lebih popular. Seni tradisi yang sedari awal munculnya selalu
mengandalkan apresiasi, interaksi, dan keterlibatan penonton serta seluruh
pelaku tradisi kesenian itu kini tidak lagi demikian. Entah sejak kapan, tetapi
tampaknya belum terdapat satu hasil penelitian yang cukup konkret menggambarkan
terpisahnya seni tradisi dari penonton dan pelaku tradisinya.
Kedua, perempuan seni tradisi itu sendiri. Dalam berbagai
konteks, perempuan seni tradisi selalu bertarung bukan hanya untuk bertahan
dari gempuran kuasa patriarki dan tudingan negatif dari publik melainkan juga
upaya keras untuk mendapatkan penghasilan ekonomi sebagai cara bertahan hidup.
Saat ini jamak ditemukan perempuan seni tradisi yang harus hidup dalam kondisi
yang serba kekurangan, meskipun masih ada juga yang hidup dalam kondisi ekonomi
berkecukupan. Tetapi hal ini tentu berbeda ketika sebelum 1990-an seni tradisi
masih menjadi idola dan ruang bagi pelepasan hasrat masyarakat.
Ketika
melihat fakta di lapangan tentang perempuan seni tradisi masa kini yang kontras
antara apa yang mereka tunjukkan di panggung dengan kehidupan keseharian, maka
apa yang seketika terbetik dalam benak peneliti dan perasaan apa yang muncul
saat itu? Apa yang terbetik dalam benak dan apa yang dirasakan oleh peneliti
inilah yang sangat memengaruhi hasil sebuah karya penelitian. Seorang perempuan
peneliti yang peka terhadap kehidupan perempuan akan menghasilkan karya yang
berbeda jika dibandingkan dengan peneliti lain yang tidak peka dengan persoalan
perempuan, entah disebabkan karena dirinya laki-laki yang memiliki pengalaman
sejarah yang berbeda dengan perempuan atau karena penggunaan sudut pandang yang
berbeda pula.
Perempuan
seni tradisi senantiasa berada pada dua wilayah, yaitu wilayah panggung
pertunjukan yang selalu menampilkan glamoritas, kecantikan, kepiawaian menari,
dan peristiwa lain yang serba indah dan wilayah keseharian yang cukup kompleks.
Di wilayah panggung pertunjukan, perempuan seni tradisi selalu dipuja oleh
penonton karena keindahan suara, kecantikan wajah, dan kepiawaian tariannya.
Tidak jarang, pujaan itu semakin menghentak ketika para perempuan seni tradisi
itu begitu handal bertarung tari dengan laki-laki.
Sementara
dalam kehidupan keseharian, perempuan seni tradisi berhadapan dengan lingkungan
sosialnya yang memiliki cara pandang yang beragam. Sebagian masyarakat yang
begitu kuat konstruksi keagamaannya sudah hampir dipastikan memosisikan
perempuan seni tradisi sebagai perempuan penjaja maksiat. Pengakuan beberapa
penari seni tradisi di berbagai tempat tentang sikap miring para agamawan cukup
mencerminkan adanya stigma itu. Sebagian laki-laki juga tidak sedikit yang memandang
perempuan seni tradisi sebagai perempuan “murah” yang mudah diajak melakukan
transaksi seksual. Belum lagi dengan tudingan perempuan lain terhadap perempuan
seni tradisi yang dianggap suka merebut suami orang dan menghancurkan rumah
tangga perempuan lain.
Di
sisi lain, komoditasi seni tradisi melalui pariwisata baik dengan alasan untuk
mendapatkan penghasilan daerah maupun penguatan identitas budaya lokal juga
berimplikasi serius bagi kehidupan perempuan dan seni tradisi itu sendiri.
Karena komoditasi hanya fokus pada upaya eksotisasi seni tradisi, bukan pada
penguatan apresiasi masyarakat terhadapnya. Belum lagi jika meninjau
keterlibatan pihak pengusaha yang jeli memanfaatkan kekuatan seni tradisi untuk
industri, maka semakin menambah kompleks persoalan yang menggelayuti kehidupan
perempuan seni tradisi.
Dalam
melihat dan memahami kenyataan seperti ini, peneliti sudah sepatutnya jeli
untuk melihat keterkaitan berbagai peristiwa yang terjadi. Apropriasi, atau
yang secara sederhana dipahami sebagai peleburan perasaan antara peneliti
dengan persoalan yang ditelitinya merupakan bagian mendasar yang turut
memengaruhi hasil akhir penelitian itu. Maka sangat maklum jika kemudian banyak
ditemui karya penelitian atau liputan jurnalistik tentang perempuan yang lebih
dominan unsur emosionalitasnya ketimbang pemaparan dan analisis data atau
peristiwa yang lebih “pas” dan “koheren”. Hal ini bukan berarti bahwa
apropriasi itu tidak penting, justru ia sangat perlu untuk menumbuhkan
“kejujuran” menangkap sisi kebersamaan dan mengungkap persoalan yang dihadapi
perempuan.
Perempuan
seni tradisi masa kini memang akan selalu berada pada posisi gamang karena
mereka harus berhadapan dengan kompleksitas persoalan dan hiruknya derap
modernitas yang gegap. Semuanya tidak mungkin ditampik. Di sinilah arti penting
penelitian di wilayah perempuan marjinal dimana ia tidak cukup berkutat pada
keluhan tentang penindasan terhadap mereka, tetapi perlu juga menguak sisi
perlawanan yang bisa menjadi asa untuk mengarungi kehidupan dengan lebih tegar.
KELOMPOK
MARGINAL
Ø
Klarifikasi atas Istilah
Kelompok Marginal
Tidak ada definisi tunggal tentang
siapa kelompok yang terpinggirkan. Lazim diasumsikan bahwa mereka yang
tergolong kelompok terpinggirkan (marjinal) adalah mereka yang miskin. Namun,
terpinggirkan dan miskin tidak serta merta sama. Orang miskin biasanya masuk
dalam kelompok terpinggirkan, tetapi orang yang terpinggirkan tidak selalu bisa
disebut miskin. Bagi mereka, kelompok terpinggirkan mencakup orang yang
mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran, diskriminasi atau eksploitasi
di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota. Sekalipun banyak yang
mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam gaya hidup yang paling sederhana,
kelompok-kelompok terpinggirkan senantiasa menolak istilah “miskin” atau
“kemiskinan”.
Ø Contoh kelompok marginal
·
Pedagang Asongan
Pedagang asong membawa
barang dagangannya (seperti makanan, minuman, rokok, koran) dalam sebuah
keranjang atau kotak. Mereka beroperasi di dekat pasar, terminal, stasiun atau
lampu lalu lintas. Di beberapa wilayah, seperti di terminal bus, keberadaan
mereka jelas-jelas terlarang. Sebuah pasal dari Peraturan Daerah No. 5/1995,
tentang “Terminal Bus”, menyatakan bahwa: Tak seorang pun di wilayah terminal
diizinkan untuk bertindak secara terbuka atau tersembunyi seperti calo,
pedagang asongan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, pemulung, penyemir
sepatu, renternir/pelepas uang, berjudi, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok
marjinal tentunya percaya bahwa sebagian aktivitas ini sah. Itulah sebabnya
mereka merasa bahwa perda ini bersifat diskriminatif sebab perda itu membatasi
hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara setara di tempat kerja. Karenanya,
mereka terus menuntut agar perda tersebut direvisi. Perda ini dipakai sebagai
landasan oleh penjaga keamanan terminal untuk mengambil tindakan tegas. Sekelompok
pedagang asongan di sebuah terminal terkadang ditangkap oleh petugas keamanan
terminal, barang dagangan mereka dan perlengkapannya dilemparkan dan mereka
diperlakukan secara “tidak manusiawi”, seperti ditendang. Tak hanya pedagang
asongan, tetapi musisi jalanan di terminal itu juga mengalami masalah serupa.
Sebagai akibat kebijakan perda
ini, pendapatan pedagang asongan merosot hingga separuh. Para pedagang asongan,
mencoba sejumlah hal untuk menyuarakan perasaan mereka, menghubungi kepala
stasiun dan anggota DPRD. Merasa bahwa ini bukan wilayah otoritasnya, Dewan
lepas tangan, yang menjadi alasan mengapa kelompok pedagang asongan tidak
mempercayai wakil terpilih mereka.
Walaupun pedagang asongan
merasa sedikit skeptis mengenai nasib mereka, mereka tak pernah berhenti
mencoba menemukan solusi mereka sendiri. Misalnya, beberapa orang coba
diam-diam memasuki area-area terlarang dan coba menjajakan dagangan mereka
(yang sesungguhnya sangat dilarang). Tetapi, hanya pedagang asongan laki-laki
yang bisa melakukan tindakan berisiko ini. Jika mereka tertangkap, tentu mereka
akan bermasalah, sehingga mereka terus hidup dalam ketakutan. Upaya
terus-menerus pedagang asongan untuk bernegosiasi dengan petugas terminal membawa
sedikit perubahan. Sekarang, pedagang asongan (khususnya wanita) dibolehkan
membawa barang dagangannya dan meletakkannya di tempat jalan penumpang.
·
Pengemudi Becak
Pekerjaan sebagai
pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga manusia.
Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di kalangan
kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar. Tetapi,
berdasarkan pengalaman berinteraksi, persepsi ini belum tentu benar. Sekalipun
kebanyakan mereka tidak menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di
kota besar sangat berwawasan tentang situasi sosial dan politik. Anak-anak
mereka biasanya menyelesaikan SMA, sebagian sedang belajar di universitas.
Kebijakan dasar yang
diimplementasikan oleh pemerintah kota menyangkut becak berganti-ganti antara
“penertiban” dan “penghapusan” mereka. Berapa banyak pengemudi becak yang
dibolehkan beroperasi tetapi setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa
konsultasi dengan beragam perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini
juga mengatur waktu operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja
siang dan waktu kerja malam. Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak
memiliki surat izin dan registrasi, tetapi kebijakan ini sangat dicemooh.
Peraturan tambahan
mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak melintasi
jalan-jalan tertentu. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu
lintas dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang
disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah
daerah mengenai transportasi ini cenderung meningkatkan level kompetisi di
antara (mungkin) jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan
transportasi publik jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu
menambah jumlah rute transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci .
Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari
pengemudi becak. Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan
sehari-hari meningkat.
Menanggapi kondisi ini,
perkumpulan pengemudi becak secara aktif mengadvokasikan kepentingan mereka
kepada pemerintah daerah. Di samping paguyuban lokal, berdasarkan lokasi kerja
pengemudi becak, terdapat setidaknya empat asosiasi level kota. Salah satu
asosiasi yang paling konsisten melakukan tuntutan akan peran serta dalam
pengambilan keputusan.
Ø Tuntutan
kelompok-kelompok marginal.
Kelompok Marjinal percaya bahwa dalam
banyak kasus, mereka dimarjinalkan oleh kondisi struktural yang membuat mereka
tak mampu menemukan kerja dan sedikit harapan untuk meningkatkan gaya hidup
mereka: Jika kami miskin, itu karena kami dibuat miskin. Sehingga, istilah yang
tepat adalah bahwa kami dipinggirkan.
Seperti dapat dipelajari dari
pengalaman di atas, ada kondisi struktural dari marjinalisasi multisisi di
wilayah-wilayah perkotaan Indonesia: (1) karakter kebijakan kota, yang
memprioritaskan pembangunan ekonomi dan investasi; (2) sedikitnya akses
kelompok sosial tertentu terhadap proses pengambilan keputusan, dan (3)
kurangnya transparansi dan keterbukaan dalam membuat dan mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan kota. Nasib kelompok-kelompok marjinal juga dipengaruhi
oleh sikap pejabat pemerintah. Sikap pemerintah terhadap kaum marjinal beragam
mulai dari ketidaksukaan ekstrem karena yakin bahwa keberadaan mereka ilegal
hingga menoleransi keberadaan mereka sepanjang tidak menentang peraturan secara
terbuka. Pemerintah menyingkirkan mereka ketika keputusan-keputusan dibuat dan
selanjutnya menolak dan mengabaikan kondisi orang yang tak berdaya.
trims mbak atas postingannya yang bermanfaat.. tetap semangat posting..
BalasHapus