BAHASA JAWA KUNO DAN SASTRANYA
- SEJARAH DAN PRASEJARAH BAHASA JAWA KUNO
Tanggal 25 maret tahun 804 merupakan suatu tanggal
yang sesuai untuk mengawali tinjauan kita mengenai sastra jawa kuno. Karena
pada waktu itu telah adanya prasasti Sukabumi. Prasasti tersebut merupakan
piagam pertama yang menggunakan bahasa jawa kuno dan sejak itu bahasa itulah
yang dipakai dalam kebanyakan dokumen resmi.
Untuk mengetahui lebih banyak lagi
tentang bahasa jawa kuno sebelum tahun 804 harus mengandalkan sumber yang
ditulis dalam suatu bahasa yang bukan menggunakan bahasa jawa kuno akan tetapi
bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah lain.
Seperti halnya seorang warga Cina yang bernama I Ching
dalam perjalanannya dari Cina ke India ia singgah di Sumatra ( Sriwijaya dan
Melayu ) sampai delapan bulan untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta. Kemudian
dalam perjalanan pulang ia kembali lagi ke Sriwijaya dan tinggal disana lebih
daripada sepuluh tahun lamanya sambil menyalin teks-teks yang ada sangkut
pautnya dengan ajaran agama Budha dan menerjemahkannya dalam bahasa Cina.
Prasasti-prasasti yang dibuat di Sriwijaya pada waktu I Ching tinggal disana
bahwa bahasa melayu kuno digunakan dalam dokumen-dokumen resmi.
Bahasa jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal
sebagai bahasa-bahasa Nusantara dan yang merupakan suatu sub-bagian dari
kelompok linguistis Austronesia. Diantara bahasa-bahasa Nusantara itu yang
secara kasar meliputu 250 bahasa, dan terdapat beberapa yang membanggakan suatu
kesustraan yang cukup luas. Jawa kuno menduduki tempat istimewa karrena
karya-karya sastranya yang tertua.
J.Gonda mengemukakan pengaruh Sanskerta terhadap
bahasa-bahasa Nusantara, yaitu :”secara linguistis pengaruh India terhadap
daerah-daerah Indonesia yang mengalami proses Hinduisasi tidak mengakibatkan
semacam pembauran.
2. PENGARUH
INDIA TERHADAP BAHASA JAWA KUNO; PERANAN BAHASA SANSKERTA
Dalam kesepuluh abad pertama dari penanggalan masehi,
bahasa Sanskerta tidak lagi dipakai di India, ditempat manapun, sebagai bahasa
pengantar dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa Sanskerta merupakan bahasa ilmu
sastra dan bahasa yang dipakai dalam lapisan atas masyarakat, khusus istana;
selain itu juga dipakai dalam kalangan agama, baik dalam sastra keagamaan
(kecuali dalam sebagian sastra Buddha yang mempergunakan Pali sebagai bahasa
keramatnya) maupun untuk keperluan ibadat.
Bahasa Sanskerta lebih dekat dengan
bahasa-bahasa pribumi Indo-Arya daripada bahasa Latin pada bentuk-bentuk bahasa
rakyat di Eropa pada masa itu;
Pengaruh India pada bahasa Jawa Kuno
hampir melulu terbatas pada bahasa Sanskerta sebagai akibat kontak-kontak
social biasa, atau khususnya sebagai akibat perkawinan antara orang Indonesia
dengan orang asing keturunan India yang menetap di Jawa, entah untuk sementara
atau untuk selamanya. Diduga, bahwa kata-kata pinjaman dari India yang masuk
dalam bahasa Jawa Kuno memperlihatkan bentuk bahasa pribumi di India.
Persoalan yang ada kaitannya dengan apa yang diuraikan
diatas ialah bentuk diangkatnya kata-kata Sanskerta dalam Jawa Kuno.
Bila kita menyimpulkan apa yang diuraikan diatas, maka
dapat dikatakan, bahwa unsure-unsur asing dibaurkan kedalam bahasa Jawa Kuno
sedemikian rupa, sehingga susunan dan sifatnya sebagai suatu bahasa Nusantara
tetap utuh. Dari lain pihak perlu dicatat, bahwa dalam meminjam dan
mencangkokkan kata-kata dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, kata-kata
Sanskerta pada umumnya tidak mengalami suatu perubahan fonetis. Berlainan
dengan apa yang kita saksikan dalam bahasa-bahasa Nusantara yang lainnya, maka
tidak kelihatan satu bekas bahwa kata-kata Sanskerta itu disesuaikan dengan
pola-pola bunyi dalam bahasa Jawa Kuno. Bunyi-bunyi yang asing bagi bahasa yang
menerimanya tidak diselaraskan atau diganti dengan bunyi-bunyi yang lebih biasa
atau yang lebih mudah diucapkan, sekurang-kurangnya sejauh ini dapat
disimpulkan dari cara penulisan.
Alasan yang mendorong para pengarang untuk memasukkan
kata-kata Sanskerta kedalam karya sastra mereka, khususnya dalam puisi mereka,
ialah keinginan mereka untuk memperkaya kosa kata; khusus untuk menaati
aturan-aturan ketat yang berkaitan dengan metrum dan naik turunnya suara,
mereka harus mengandalkan suatu persediaan kata-kata sinonim atau hampir
sinonim yang panjangnya tidak samasera suku-suku kata yang kuantitasnya juga
berbeda-beda.
Bahasa Sanskerta yang demikian mendalam dan luas
mempengaruhi segala peninggalan tertulis dari jaman Jawa Kuno, baik berupa
prasasti maupun sastra, merupakan bahasa yang dipakai oleh para pujangga dan
orang-orang terpelajar. Ini juga berlaku bagi bentuk bahasa Jawa Kuno yang
dipakai dalam sumber-sumber kita dan inilah satu-satunya bentuk yang kita
kenal.
Mengenai pengaruh bahasa dan sastra Sanskerta, kita
dapat membayangka pada kurun waktu yang sama teradapat situasi yang kurang
lebih serupa di Negara-negra tetangga di Asia Tenggara, khususnya di Campa dan
Kampuchea. Gonda berbicara tentang “pemeliharaan intensif terhadap sastra
Sanskerta di Campa” lalu melanjutkan: “Berdasarkan prasasti-prasasti yang telah
diterbitkan jelaslah sudah bahwa sekurang-kurangnya sampai abad ke-10 kavya dan
jenis-jenis sastra Sanskerta klasik lainnya dipelajari demikian mendalam,
sehingga sastra pribumi diabaikan sama sekali.
Terdapat suatu perbedaan yang jelas antara pulau Jawa
di satu pihak dan Campa dan Kampuchea di pihak dalam pengungkapan taraf
pengaruh Sanskerta. Kita tidak mempunyai bukti-bukti langsung bahwa buku-buku
baru di Jawa ditulis dalam Sanskerta, apalagi bahwa bahasa Sanskerta dipelajari
dengan demikian mendalam, sehingga sastra dalam bahasa pribumi menjadi musna. Memang
benar, seperti akan lihat, bahwa abad ke-9 dan ke-10 hanya sedikit yang sampai
ke tangan kita dengan selamat, tetapi ini juga dapat diakibatkan oleh
sebab-sebab lain; sastra pribumi yang kita miliki dari abad-abad berikut justru
membubarkan, bahwa studi terhadap bahasa dan sastra pribumi tidak diabaikan,
justru sebaliknya.
Maka dari itu agar terburu-buru sekiranya kita
menyimpulkan, bahwa cara bahasa Sanskerta mempengaruhi kehidupan dan kebudayaan
di Campa, seperti yang telah ada, dapat dijadikan pararel mengenai apa yang
terjadi di Jawa. Di sini, di pulau Jawa, kelihatan bahwa unsure-unsur pribumi
jauh lebih penting. Sastra Jawa menyerap pengaruh India dengan suatu cara yang
lebih bebas, tanpa kehilangan identitasnya sendiri;ini mungkin merupakan suatu
bukti bagi teori, bahwa pengaruh India di Jawa lain daripada di negri-negri
yang mengalami Hinduisasi di daratan Asia Tenggara;pokoknya proses “Hinduisasi”
lain di Jawa, lain di Campa dan Kampuchea. Perbedaan histories dan geografis
mungkin juga menerangkan untuk sebagian kenyataan yang pasti berkesan kepada
setiap orang yang mempelajari sejarah sastra di provinsi tenggara “India Raya”
ini, yaitu bahasa Jawa purba itu telah mewariskan suatu jenis kesusatraan yang
ditulis dalam bahasa pribumi yang luas lagi aneka ragam, sedangkan sastra Khmer
dan Campa Kuno demikian sedikit kita warisi, sehingga kita akan menyangsikan
apakah pernah ada suatu kesusastraan pribumi di negeri-negeri itu sepanjang
kurun waktu mereka demikian dekat pada kebudayaan India.
Kesimpulan tersebut ditolak Coedes dengan tegas. “Kaum
bangsawan yang mewariskan kepada kita candi Angkor yang mengagumkan itu tidak
hidup tanpa kebudayaan, dan kebudayaan itu tidak hanya disalurkan lewat bahawa
Sanskerta.”
Sekedar untuk menerangkan, mengapa tidak ada suatu
bekas sastra yang dahulu pasti pernah ada sampai kepada kita, ia menunjukkan
kepada bahan tulisannya yang mudah rapuh dan tidak dapat bertahan terhadap
gangguan serangga dan keadaan iklim yang tidak menguntungkan itu. Tetapi
factor-faktor tersebut juga berlaku untuk keadaan di pulau Jawa. Maka dari itu
ada sebab-sebab lainnya juga. Coedes memang tidak khilaf akan hal itu. Dan ia
bertanya, mengapa pengaruh kebudayan Khmer terhadap Muang Thai pada abad ke-13 dan
ke-14 mengakibatkan suatu perkembangan dalam bidang sastra yang berlangsung
terus selama abad-abad berikut di negeri itu, sedangkan di Kampuchea itu
sendiri, negeri aslanya, tidak ada satu berkas pun? Coedes yakin, bahwa
sebabnya harus dicari dalam situasi sejarah. “Sejarah negeri itu merupakan
suatu rangkaian peperangan dahsyat. Jelaslah bahwa baik kreativitas sastra
maupun minat terhadap hasil karyanya, sebagai syarat mutlak untuk
menyelamatkannya, tidak dapat meloloskan diri dari kehancuran peperangan-peperangan
itu.
Adapun sejarah di pulau Jawa menempuh jalannya sendiri
dan meskipun di Jawa pun ada factor-faktor yang dapat menghancurkannya, namun
sastra Jawa Kuno diselamatkan sampai hari ini. Nanti akan kita lihat, bagaimana
ini dapat diusahakan. Namun pertanyaan yang timbul ialah, hanya keadaan
eksteren sajakah, syarat mutlak untuk menyelamatkannya, yang mengakibatkan
sastra Jawa itu selamat dari nasib yang menimpa sastra-sastra lainnya yang
telah tiada. Secara intrinsic sastra Jawa lebih cocok untuk menghadapi segala
kemalangan. Hanya secara kebetulan sajakah sastra Jawa Kuno satu-satunya
kesusastraan yang selamat di tengah-tengah banyak kesusastraan lainnya yang
serupa, baik menurut jenis maupun menurut mutunya. Sejak permulaan sastra Jawa
Kuno itu memang lain daripada yang lain, sehingga menurut dasarnya lebih siap
untuk struggle for survival itu. Kita hanya dapat mengakui bahwa kita
menghadapi sejumlah pertanyaan yang tidak terpecahkan. Satu-satunya hiburan
kita ialah kenyataan adanya suatu kesusastraan yang kaya, sebuah oasis di
tengah-tengah gurun pasir.
Pada zaman dahulu ada hipotesa yang mengatakan bahwa
ada 2 bentuk bahasa jawa kuno, yang satu lisan dan lainnya tertulis. Menurut
yang saya tangkap dari pernyataan tersebut berarti pada zama dahulu itu ada
sebuah legenda ataupun mitos yang menjadikan ada hipotesa ada bahasa jawa kuno
berbentuk lisan, sedangkan yang tulis jelas ad dalam sebuah naskah-naskah yang
masih ada sampai sekarang.
Kenapa bahasa jawa kuno tetap ada sampai sekarang
(sekalipun sudah tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari), hal iti
dikarenakan karena adanya unsure-unsur asing yang masuk yang dibaurkan
kedalam bahasa jawa kuno sedemikian rupa, sehingga susunan dan sifatnya sebagai
suatu bahasa Nusantara tetap utuh dan terpelihara.
Pada masa itu bahasa Sanskerta yang demikian mendalam
dan luas bias mempengaruhi segala peninggalan tertulis dari zaman jawa kuno,
baik berupa prasasti maupun sastra. Itu semua merupakan bahasa yang dipakai
oleh para pujangga dan orang-orang terpelajar.
- KERANGKA HISTORIS SASTRA JAWA KUNO
Pada waktu dokumen-dokumen ditulis, yaitu pada abad
ke-9, pusat kekuasaan politis dan kehidupan kebudayaan terdapat di jawa tengah.
Dan kemudian sekitar tahun 930 pusatnya bergeser kearah timur (wilayah jawa
timur) dam sejarah Jawa Tengah berabad-abad lamanya diliputi kabut gelap; tak
ada satu dokumen atau peninggalan karya seni atau karya arsitektur yang
dapatmenerangi periode itu. Di Jawa Timur wangsa yang berkuasa berkedudukan di
lembah Kali Brantas, bagian hulu. Pendiri wangsa ialah Sindok yangjuga
disebut-sebut dalam prasasti-prasasti dari Jawa Tengah sebelum tahun 930, dan
dia keturunan raja Jawa Terngah yang terakhir. Sebab-sebab yang melatar
belakangi perpindahan ke daerah jawa timur dikarenakan terdapat beberapa hal.
Pada tahun1016 kerajaan Jawa Timur mengalami suatu bencana dasyat, mungkin juga
suatu serangan dari suatu kekuasaan asing luar Jawa. Dan kejadian itu
menamatkan Sindok yang berkuasa pada saat itu kemudian terjadilah suatu periode
yang penuh dengan kekacauan. Muncullah saat Erlangga, anak seorang putri raja
Dharmawangsa dan Udayana, seorang pangeran dari Bali, berhasil merebut kembali
kekuasaan dan setelah suatu perjuangan lama ia memulihkan kembali kesatuan
kerajaan.
Raja Erlangga yang telah memulihkan kerajaan Jawa
Timur serta kesatuannya rupanya untuk sebagian sekurang-kurangnya meniadakan
hasil perjuangannya, karena sebelum mangkatnya ia membagikankerajaan kepada
kedua puteranya. Perbuatan tersebut melahirkan kerajaan Jenggala dan Kadiri.
Pada tahun 1222 kerajaan kadiri tamat, rajanya
dikalahkan dan gugur dalam suatu pertempuran. Namun kekuasaannya beralih pada
sautu wangsa baru yang mendirikan kratonnya lebih kearah timur, di Singasari
(kini Malang). Namun pada tahun 1292 wangssa baru itu digulingkan oleh
pemberontakan seorang pangeran dari Kadiri pula yang direndahkan sampai status
seorang vassal. Krtanagara, raja Singasari, menemukan ajalnya ketika kratonnya
diserang; tetapi putera menantunya,Wijaya, berhasil meloloskan diri dan
menyusun perlawanan terhadap Kadiri. Ia mengandalkan bantuan dari pasukan Cina
yang mau menghukum Krtanagara yang sudah tewas diserang Kadiri. Setelah Wijaya
berhasil menang melawan Kadiri, ia pun memaksa bantuan dari Cina mengundurkan
diri. Dengan memakai nama Krtarajasa ia menjadi penguasa pertama yang memimpin
kerajaan Majapahit yang selama abad ke-14 dan ke-15 tidak hanya merupakan
kekuatan utama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, melainkan berpengaruh pula di
luar Jawa dalam bidang politik dan kebudayaan.
Yang paling penting adalah ekspedisi Majapahit melawan
Bali pada tahun 1343 mengakibatkan kekalahan raja utama di sana, sehingga
kerajaan harus tunduk pada Majapahit. Setelah Bali kalah dengan Majapahit,
suatu wangsa didirikan di Bali Selatan, bagian tengah. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa kraton-kraton di Bali mengalami suatu proses “jawanisasi” yang
sistematis. Pada abad ke-14 Bali masuk dalam lingkup pengaruh Hindu-Jawa,
berbagai kebudayaan dan religi; dan sebagai konsekuensi, bahwa semenjak saat
itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari kebudayaan Hindu-Jawa.
Karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno diciptakan; karya-karya itu
mengikuti tradisi yang sudah berlaku dengan demikian dekat dan mengandung
demikian sedikit unsure yang dapat diidentifikasikan sebagai khas Bali,
sehingga sukar, bahkan kadang-kadang mustahil, membedakan karya-karya asli yang
ditulis di Jawa sendiri. Bali sangat memberikan banyak sumbangan bagi sastra
Jawa Kuno, karena sastra Jawa Kuno diselamatkan sampai hari ini juga.
Pada bagian kedua abad ke-14 kekuasaan Majapahit dalam
bidang politik mencapai puncaknya. Akan tetapi pada abad berikutnya kekuasaan
itu makin cepat mundur . daerah-daerah yang dipersastukan di dalam kawasan
kerajaan Majapahit dan yang dulu merupakan kerajaan-kerajaan kecil seperti
Kahuripan (Janggala), Tumapel (Singasari), Lasem dan Daha (kadiri) dimana
kraton-kraton wangsa-wangsa pangeran yang telah silam tetap merupakan propinsi.
Pada decade akhir abad ke-15 Daha (kadiri)lah yang paling berpengaruh diantara
kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaingan itu; dan mungkin juga pada
periode terakhir dalam sejarah kerajaan Majapahit, menjelang keruntuhannya,
raja Daha-lah yang memegang sisa-sisa kekuasaan sentral yang pernah jaya itu.
Dalam bentuk religiusnya Hindu javanisme (ajaran hindu
pada masa kerajaan Hindu-Jawa) mungkin hanya dapat bertahan di pedalaman,
tetapi disana pun tapak demi setapak terhadap agama islam yang makin meluas.
Hanya di sebuah kerajaan kecil pada ujung pulau Jawa, yaitu di Blambangan, yang
berhadapan dengan pulau Bali, Hindu-Jawa masih dapat bertahan untuk beberapa
waktu. Tetapi pada akhir abad ke-17 kerajaan itu pun musnah, maka lengkaplah
peralihan Jawa kepada Islam. Ini menandakan tamatnya sastra Jawa Kuno yang
selama enam abad mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa.
Kondisi-kondisi agar sastra Jawa Kuno itu tetap dapat
bertahan dan melangsungkan eksistensinya sebagai peninggalan mati dari masa
yang telah silam dan telah lenyap. Pertama lenyaplah kraton-kraton, baik
sentral maupun regional, dimana sastra itu dipelihara dan karya-karya diawetkan
dengan seksama dan terus-menerus diperbaharui oleh para juru salin. Menyusullah
pusat-pusat keagamaan yang pernah memainkan peranan serupa dalam kalangan
religius biarpun pusat-pusat tersebut mungkin dapat bertahan sedikit lebih
lama. Tetapi kelangsungannya terus terancam dan ini pasti tidak menguntungkan
kegiatan sastra. Pusat-pusat kebudayaan pun lenyap pada waktunya. Maka dari itu
kita tidak perlu membayangkan, bahwa peninggalan masa silam yang “kafir” itu
dengan sengaja dan besar-besaran dihancurkan, biarpun itu terjadi disana sini.
Hal ini memang dilaporkan dalam cerita-cerita
setengah-tengah legendaries yang berkaitan dengan runtuhnya Majapahit dan
peralihan dari agama Hindu ke agama Islam. Dalam cerita itu dilukiskan,
bagaimana Sultan Demak merebut kraton Majapahit dengan kekerasan lalu
melaporkan peristiwa kepada rapat para Wali Sanga yang konon kabarnya merintis
dan mempropagandakan agama baru itu. Menurut laporannya ia menyerahkan kraton
itu kepada para pengikutnya untuk dirampok dan atas perintahnya semua buku
buda dibakar. Yang dimaksudkan ialah semua buku dari periode Hindu-Jawa
yang dianggap keramat. Dengan tindakan yang radikal itu tradisi dan agama
“Buddha” kehilangan kesaktiannya. Sunan Bonang dan para wali lainnya tersenyum
danmengangguk-anggukkan kepala sambil berkata : “itu membuktikan kebijaksanaan
yang mendalam dan akal sehat. Selama masih ada buku-buku yang menerangkan
pandangan agama “Buddha”, orang-orang Jawa akan bertahan pada kekafiran mereka,
mungkin untuk seribu tahun lagi, dan mereka tidak akan pernah dapat diajak
untuk ganti agama dengan mengikuti hokum Rasulullah, apalagi untuk bertobat dan
menyerukan Nama Allah serta Muhammad sebaga RasulNya.
Namun karena masih adanya cerita Ramayana dan
Mahabharata tetap memikat imajinasi rakyat Jawa, usaha-usaha untuk menggantikan
mereka dengan tikoh-tokoh sejarah Islam awalnya hanya terbatas saja
keberhasilannya dan terbatas pada suatu kelompok masyarakat saja. Tetapi para
Pandawa tetap mempertahankan popularitas mereka dan tidak pernah disangsikan,
bahwa mereka lebih unggul daripada tokoh-tokoh yang baru diciptakan, seperti
misalnya Amir Hamza. Dalam silsilah-silsilah para wangsa baru yang memeluk
agama Islam, para Pandawa bahkan berhasil mendudukkan ini sebagai leluhur
mereka.
Tetapi dalam sastra tertulis, hanya sedikit saja yang
dapat bertahan dalam masa pancaroba itu. Beberapa perkecualian ialah sejumlah
syair Jawa Kuno yang paling dikenal dan disukai, khususnya Ramayana dan
Arjunawiwaha. Ketika pada akhir abad ke-18 di kalangan kraton Surakarta terjadi
suatu gerakan sastra yang menghasilkan berbagai karya seni yang bermutu, maka
syair-syair pra-Islam itu yang menyediakan tema pokoknya dan berfungsi sebagai
contoh bagi Jawa Modern. Tetapi syair-syair yang diubah itu maupun keadaan
naskah-naskah yang merupakan salinan terhadap contoh asli seperti terdapat di
Jawa,membuktikan, betapa sedikit yang masih dekatahui mengenai bahasa Jawa
Kuno. Dalam kurun runtuhnya Majapahit dan gerakan-gerakanpembaharuan di
Surakarta perhatian terhadap sastra Jawa Kuno telah turun dan bahkan hampir
lenyap seluruhnya. Maka tidak mengherankan bahwa usaha untuk menyalin
naskah-naskah yang mutlak perlu untuk mengawetkannya.
Di Bali kraton-kraton tetap merupakan penjaga-penjaga
setia bagi warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan kasta Brahmin tetap memperhatikan
serta mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu. Di Bali sastra Jawa Kuno
semula ditulis dan kemudian, jauh di kemudian hari, sekurang-kurangnya dibaca
dan dipelajari, biarpun tidak selalu dimengerti sampai pada segala seluk beluk
yang khas itu. Karena hal itu praktis tidak berubah sampai pada jaman kita.
Berkat situasi ini kitaa masih memiliki hasil karya sastra Jawa Kuno.
- BAHASA JAWA KUNO DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSTRAAN
Istilah Jawa Kuno dipakai dalam arti yang
seluas-luasnya sambil mengesampingkan sastra Jawa Modern. Adanya Jawa
Pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu Jawa dan suatu tahap
peralihan antara Jawa Kuno seperti kita jumpai dalam kakawin-kakawin klasik dan
bahasa Jawa Modern dari abad-abad kemudian.
Terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang
lain, terutama karena metrum-metrumnya, yaitu jenis kakawin dan kidung. Yang
pertama menggunakan metrum dari India, sedangkan yang kedua metrum asli Jawa
atau Indonesia. Tidak hanya metrum yang membedakan, akan tetapi dalam bahasanya
juga terdapat suatu perbedaan; dalam kakawin dipakai bahasa Jawa Kuno
sebenarnya, sedangkan kidung dipakai Jawa Pertengahan.
Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan seolah-olah untk
menggambarkan perbedaan menurut waktu, seakan-akan Jawa Pertengahan berkembang
dari Jawa Kuno. Hal ini memperkuat kepercayaan bahwa beberapa kakawin dalam
Jawa Kuno mungkin lebih muda dari kidung dalam Jawa Pertengahan. Kebanyakan
kidung ditulis di Bali, kita dapat bernalar bahwa semua sastra Jawa
Pertengahan yang kita kenal berasal dari Bali. Kemungkinan sastra kidung di
Bali merupakan kelanjutan daripada suatu bentuk sastra yang berasal dari Jawa.
Pernyataan istilah Jawa Pertengahan memberi gambaran
seolah-olah merupakan suatu bentuk peralihan, atau semacam jembatan antara Jawa
Kuno dan Jawa Modern. Akan tetapi hal itu merupakan suatu kesimpulan yang
salah, namun sering orang berkata demikian. Karena bahasa Jawa Pertengahan yang
kita kenal dari sastra kidung merupakan sebuah jembatan yang tidakmenuju ke
apapun. Hal ini dikarenakan Jawa Pertengahan dipakai dalam kalangan
kraton-kraton di Bali dan untuk sebagian besar ditulis pada suatu waktu ketika
hubungan dengan pulau Jawa praktis terputus. Sekarang yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana mungkin Jawa Modern berkembang dari Jawa Kuno?. Sedangkan
bahasa Jawa Modern sendiri mulai dipakai pada jaman para pujangga (akhir abad
ke-18 awal abad ke-19).
Pada abad ke-16, terdapat bahasa Jawa Kuno seperti
dalam kakawin yang di tulis di Bali berdampingan dengan Jawa Pertengahan
seperti nampak pada sastra kidung di Bali serta Jawa Modern seperti terdapat
karya tentang agama islam.
Ada sebuah hipotesa yaitu bahwa Jawa Pertengahan dan
Jawa Modern merupakan dua cabang terpisah divergen pada batang bahasa
yang satu dan sama. Menurut hipotesa ini Jawa Kuno merupakan bahasa umum selama
periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya kerajaan Majapahit. Kedatangan agama islam
memecahkan kesatuan cultural itu menjadi dua bagian yang jelas berbeda dan yang
masing-masing tercermin dalam bidang linguistic. Sejak saat itu Jawa Kuno
berkembang menurut dua arah yang berlainan dan menumbuhkan Jawa Pertengahan di
satu pihak dan Jawa Modern di pihak lain.
nice post..
BalasHapusJual Kondom
Kondom Berotot
Kondom Getar
Kondom Polos
Kondom Duri
Kondom Gerigi
Obat Bius | jual obat bius Dan Obt Tidur
BalasHapusjual obat tidur
obat bius
obat tidur
obat bius cair
obat tidur wanita
bius
obat tidur pria
obat tidur dewsa
obat bius tidur
obat bius pria
jual obat bius tidur
obat-bius.com