ISTILAH
PERLENGKAPAN SESAJI LARUNG RISALAH DO’A
DI
TELAGA NGEBEL KABUPATEN PONOROGO
(Suatu
Tinjauan Etnolinguistik)
OLEH :
Nama :
Nastiti Puji Rahayu
JURUSAN SASTRA
DAERAH
FAKULTAS SASTRA DAN
SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS
MARET SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bahasa
merupakan alat komunikasi yang tidak dapat dipisahkan dengan manusia, karena
dalam kesehariannya manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan
sesamanya. Bahasa juga mencerminkan kebudayaan suatu daerah karena bahasa
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia. Dengan kata lain bahasa
merupakan bagian dari unsur kebudayaan manusia. Bahasa dan budaya juga dipahami
aktualitasnya saling berdampingan karena keduanya merupakan ekspresi verbal dan
nonverbal kehidupan manusia. Etnolinguistik merupakan perpaduan antara etnologi
dan linguistik, sehingga dengan mempelajari etnolinguistik kita dapat
mengetahui hubungan antara kebudayaan dengan masalah bahasa.
Menurut
Kridalaksana etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki tentang
hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum
mempunyai tulisan, disebut juga linguistik antropologi; cabang linguistik
antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap
bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah
relativitas bahasa.
Kebudayaan
dalam suatu masyarakat merupakan sebuah kebiasaan warisan nenek moyang yang
dilakukan manusia dalam lingkup sosial tertentu dan dilakukan terus menerus
secara turun temurun, sehingga kebudayaan itu dapat menunjukkan tinggi
rendahnya peradaban suatu masyarakat.
Kabupaten
Ponorogo merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang masih menjaga dan melestarikan
nilai-nilai budaya. Keberadaan Kota Ponorogo ini
dahulu diawali dengan adanya kesepakatan dalam musyawarah yang dilakukan oleh
Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat
bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk. Didalam musyawarah
tersebut di sepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan “Pramana Raga” yang
akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi Ponorogo. Menurut sejarah Raden Katong sampai di wilayah Wengker, lalu memilih tempat yang memenuhi
syarat untuk pemukiman. Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan,
tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng
Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman. Sekitar 1482 M
pengkonsulidasi wilayah mulai di lakukan. Tahun
1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun
kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan
kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai
membuahkan hasil. Dengan persiapan dalam rangka merintis mendirikan kadipaten
didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten
Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama.
Hingga
saat ini Kabupaten Ponorogo sangat menjunjung tinggi kebudayaan yang
dimilikinya dan melestarikan budayanya melalui rangkaian budaya adat atau
tradisi yang dilakukannya. Salah satu bentuk usaha pelestarian budaya yaitu
dengan adanya kegiatan bernuansa spiritual dan non spiritual. Kegiatan budaya
non spriritual maksudnya yaitu kegiatan yang hanya ditujukan untuk meramaikan
acara atau untuk hiburan semata. Sedangkan kegiatan budaya spiritual yaitu
kegiatan yang dilakukan dengan tujuan agar membawa berkah dan diberikan
perlindungan dari Tuhan YME. Salah satu kegiatan spiritual yang dilakukan dan
telah menjadi tradisi setiap tahunnya yaitu upacara adat Larung Risalah Do’a.
Upacara
adat merupakan rangkaian suatu perangkat lambang yang berupa benda atau materi,
kegiatan fisik, hubungan-hubungan tertentu, kejadian-kejadian, isyarat-isyarat
dan bagian-bagian atau situasi tertentu dalam keseluruhan upacara. Upacara adat
juga merupakan kegiatan sosial yang telah dilakukan setiap tahunnya yang
melibatkan para warga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan
bersama (Suratmin, 1991:5).
Upacara
adat Larung Risalah Do’a di Kabupaten Ponorogo ini dilakukan di Desa Ngebel,
Kecamatan Ngebel. Di Desa Ngebel ini terdapat sebuah telaga yang luas
permukaannnya mencapai 1,5 km dengan dikelilingi jalan sepanjang 5 km. Upacara
adat Larung Risalah Do’a sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu.
Kegiatan tersebut dilakukan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro). Upacara adat
ini dilakukan menjadi dua bagian, bagian yang pertama dilakukan malam menjelang
tanggal 1 Suro sedangan bagian yang kedua pagi hari tepat tanggal 1 Suro.
Dengan
pendekatan etnolinguistik penulis mengambil judul: Istilah Perlengkapan Sesaji
Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo dengan alasan upacara
adat di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo ini merupakan salah satu aset wisata
dan budaya yang perlu lestarikan. Istilah perlengkapan sesaji larungan risalah
do’a belum pernah diteliti. Sesaji yang digunakan dalam Larung Risalah Do’a ini
memiliki makna tersendiri, oleh karena itu perlu dimengerti dan dipahami oleh
generai muda yang nantinya akan melestarikan tradisi tersebut. Dengan kata lain
upacara tersebut nantinya tidak hanya dipahami sebagai hiburan atau tontonan
semata, tetapi juga harus dimengerti maknanya.
B. Pembatasan
Masalah
Penelitian
yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel
Kabupaten Ponorogo” ini dikaji menggunakan teori etnolinguistik.
Untuk
mempermudah penelitian dan tidak melebar dari permasalahan yang ada maka
permasalahan dibatasi pada masalah makna leksikal dan makna kultural istilah
perlengkapan istilah perlengkapan sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel
Kabupaten Ponorogo.
C. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana
Makna Leksikal Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel
Kabupaten Ponorogo ?
2. Bagaimana
Makna Kultural Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel
Kabupaten Ponorogo ?
D. Tujuan
Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan
Makna Leksikal Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel
Kabupaten Ponorogo.
2. Mendeskripsikan
Makna Kultural Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel
Kabupaten Ponorogo.
E. Manfaat
Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat
Teoritis
Penelitian yang
berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel
Kabupaten Ponorogo” diharapkan dapat memberikan manfaat untuk melengkapi teori
etnolinguistik Jawa.
2. Manfaat
Praktis
Secara praktis
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat tentang
pengetahuan makna leksikal dan kultural khususnya pada istilah sesaji larung
risalah do’a di telaga Ngebel kabupaten Ponorogo serta dapat bermanfaat sebagai
bahan acuan untuk para peneliti selanjutnya. Selain itu penelitian ini
diharapkan dapat dimanfaatkan oleh generasi muda dan Diparta (Dinas Pariwisata)
sebagai asset wisata.
F. Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan yang digunakan peneliti untuk membuat penelitian ini sebagai berikut.
Bab I :
Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan
teori yang meliputi arti dari istilah, sesaji, larungan, bentuk makna, dan sejarah dan ritual larung risalah do’a.
Bab III :
Masalah dan pembahasan yang memuat tentang analisis dari makna leksikal
dan makna kultural istilah perlengkapan sesaji larungan risalah do’a.
Bab IV : Penutup, yang berisi tentang saran dari
hasil penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori
adalah landasan atau kajian yang bersifat teoritis yang relevan dengan pokok
permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Kajian pustaka yang dipakai dalam
penelitian ini antara lain sebagai berikut.
A. Istilah
Istilah
adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan anggota-anggota
suatu kelompok yang secara biologis berhubungan (Kridalaksana, 2011:97).
Istilah adalah suatu kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
makna, konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu
(KBBI: 2000: 390). Dalam Kamus Bausastra Jawa istilah yaitu tembung (tetembungan) sing mengku teges,
kaanan, sipat, lan mirtanggan ing babagab tartamtu “kata yang mengandung
makna, keadaan, sifat, dan sebagainya yang sesuai pada bagian tertentu (Bausastra
Jawa, 2001: 287).
B. Sesaji
Sesaji
hingga sekarang masih digunakan bagi masyarakat Jawa yang mempunyai tradisi
sesaji tersebut. Tetapi tradisi sesaji ini sudah tidak dilakukan oleh
masyarakat modern karena menurut mereka hal ini di luar rasional mereka dan
dilarang agama. Padahal bagi orang Jawa tradisi sesaji ini dilakukan untuk
menghormari roh-roh para leluhur.
Sesaji
adalah mempersembahkan sajian berupa makanan dan benda lain di upacara keagamaan
yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib
(KBBI, 2000: 764).
Menurut
Endraswara sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan
pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui
sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Menurutnya,
sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk
‘negosiasi’ spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar
makhluk-makhluk halus diatas kekuatan manusia tidak menggangu. Dengan pemberian
makan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan
mau membantu hidup manusia (2006: 247).
C. Larungan
Larungan
adalah membiarkan hanyut atau menghanyutkan sesuatu (KBBI, 2000: 549). Larungan
adalah mbuwang mayit ana ing segara utawa
kali ‘membuang mayit ke tengah laut atau sungai’ (Bausastra Jawa, 2001: 210).
Bagi
masyarakat Jawa larungan adalah menghanyutkan sesajian ke samudra dengan tujuan
penghormatan kepada penunggu samudra (dhanyang).
Sesajian yang dilarungkan biasanya berupa gunungan, kepala hewan, dan
lain-lain. Larungan dilaksanakan pada hari-hari tertentu biasanya pada tanggal
1 Suro.
D. Makna
Makna
adalah maksud pembicara atau penulis atau pengertian yang diberikan kepada
suatu bentuk kebahasaan (KBBI, 2000: 608). Dalam perkembangannya teori tanda
kemudian dikenal dengan semiotik dibagi menjadi tiga cabang yaitu semantik,
sintaksis, dan pragmatic (Fatimah Djajasudarma, 1999: 21). Semantik sangat erat
hubungannya dengan tanda karena semantic merupakan ilmu yang mempelajari
tentang makna tanda.
Pengertian
sense ‘makna’ dibedakan dari meaning ‘arti’ dalam semantik. Makna
adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama
kata-kata). Makna dapat dianalisis melalui struktur pemahaman tatanan bahasa
(fonologi, morfologi, sintaksis). Makna dapat diteliti melalui fungsi, dalam
pemahaman fungsi hubungan antar unsur. Dengan demikian, kita mengenal makna
leksikal dan makna gramatikal (Fatimah Djajasudarma, 1993: 4).
Makna
leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan
lain-lain. Makna leksikal ini mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari
penggunaan atau konteksnya (Harimurti Kridalaksana, 2008: 149). Menurut Abdul
Chaer makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski
tanpa konteks apapun (2007: 289).
Makna
kutlural adalah amakna yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks budaya
penuturnya. Konsep makna kultural ini dimaksudkan untuk lebih dalam memahami
makna ekspresi verbal maupun nonverbal suatu masyarakat yang berhubungan dengan
sitem pengetahuan (cognition system)
terkait pola piker, pandangan hidup (way
og life), serta pandangan terhadap dunia (world view) suatu masyarakat (Wakit Abdullah, 2013: 20).
Makna
kultural adalah makna yang berkembang di masyarakat, dengan begitu kita dapat
mengetahui arti-arti dari istilah larungan risalah do’a di telaga Ngebel kabupaten
Ponorogo.
E. Sejarah
dan Ritual Larung Risalah Do’a
Larungan
risalah do’a dimulai atau diadakan pada tahun 1993. Pada saat itu telaga Ngebel
dikenal sebagai tempat yang wingit ‘angker’.
Dikatakan angker karena setiap tahun banyak orang yang tenggelam di telaga
tersebut, bahkan jumlahnya semakin bertambah setiap tahunnya. Dari kejadian
tersebut bapak Winadi yang menjabat menjadi camat di kecamatan Ngebel pada saat
itu mengadakan musyawarah dengan para kepala desa dan sesepuh kecamatan Ngebel.
Pada saat itu duputuskan untuk diadakan slametan
‘upacara keselamatan’ ditiap pertigaan atau perempatan kecamatan Ngebel
pada malam 1 Suro. Selain itu ditambah pula dengan diadakannya larungan di
telaga Ngebel. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memberikan penghormatan
kepada roh-roh halus dan ucapan rasa syukur serta meminta perlingdungan dari
Tuhan. Dinamakannya larung risalah do’a karena sesaji-sesaji yang digunakan
dalam larungan itu mengandung simbol permohonan do’a kepada Tuhan.
Konon,
setelah diadakannya larungan sesaji di telaga Ngebel tidak ada lagi korban yang
tenggelam di telaga tersebut. Maka dari itu larungan tersebut masih terus
dilaksanakan dan dilestarikan hingga saat ini karena selain merupakan
penghormatan kepada roh-roh halus juga merupakan salah satu asset kebudayaan
warisan nenek moyang yang wajib dilestarikan.
Upacara
adat larungan sesaji ini dilakukan menjadi dua bagian. Bagian yang pertama
dilakukan pada malam hari menjelang tangga 1 suro. Pada bagian ini prosesi yang
dilakukan yaitu diawali dengan penyembelihan kambing kendhit. Setelah itu
kambing yang telah disembelih diarak mengelilingi telaga. Pada saat mengarak
salah satu sesepuh berhenti di tiap-tiap penjuru telaga yaitu penjuru utara,
selatan, timur, dan barat untuk menanam kaki kambing yang telah disembelih tadi
dan cok bakal. Pengarakan tersebut
berakhir di depan dermaga telaga. Pada saat di depan telaga tersebut dilakukan
penanaman kepala dan darah kambing serta pelarungan buceng alit dan pitik abang.
Bagian
yang kedua dilaksanakan pada pagi hari setelah prosesi bagian yang pertama
dilaksanakan. Bagian yang kedua ini sama dengan bagian yang pertama, hanya saja
benda yang dilarungkan berbeda. Prosesinya yaitu diawali dengan pengarakan buceng agung dan buceng buah sayuran kemudian dilanjutkan dengan melarungkan buceng agung ke tengah telaga sedangkan buceng buah dan sayur tidak dilarung
tetapi diperebutkan oleh orang-orang yang hadir.
BAB III
MASALAH DAN
PEMBAHASAN
Pada
upacara adat Larung Risalah Do’a yang di lakukan di desa Ngebel kecamatan
Ngebel kabupaten Ponorogo terdapat beberapa istilah-istilah dalam
perlengkapannya. Istilah-istilah tersebut memiliki makna tersendiri baik makna
kultural maupun makna leksikal. Istilah-istilah yang terdapat dalam
perlengkapan sesaji Larung Risalah Do’a tersebut yaitu :
1. Gunungan
2. Gunungan Agung
3. Gunungan Buah Sayuran
4. Buceng Alit
5. Beras Abang
6. Pitik Abang
7. Wedhus Kendhit
8. Suku Wedhus Kendhit
9. Ndas Wedhus Kendhit
10. Cok Bakal
A. Makna
Leksikal Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a
1. Gunungan
Gunungan
yaitu rangkaian suatu benda yang berbentuk mengerucut seperti gunung. Benda
yang dirangkai tersebut bisa berupa makanan, buah-buahan, sayuran, dan
lain-lain.
2. Gunungan Agung
Gunungan
Agung yaitu beras merah yang telah dimasak menjadi nasi
kemudian dibentuk menjadi benda yang menyerupai gunung dengan ukuran yang
besar.
3. Gunungan Buah Saryuran
Gunungan
Buah Sayuran adalah rangkaian dari buah-buahan dan
sayuran yang dirangkai menjadi benda yang menyerupai gunung dengan ukuran yang
besar.
4. Buceng Alit
Buceng Alit adalah
beras merah yang dimasak menjadi nasi kemudian dibentuk menyerupai bentuk
gunung tetapi berukuran kecil.
5. Beras Abang
Beras
Abang adalah beras yang berwarna merah yang digunakan
untuk membuat Gunungan Agung dan Buceng Alit.
6. Pitik Abang
Pitik
Abang adalah ayam jago yang berukuran besar, berwarna
merah dan banyak hidup atau berkeliaran di hutan.
7. Wedhus kendhit
Wedhus
Kendhit adalah seekor kambing yang berwarna hitam dengan
warna atau garis putih yang melingkar di bagian perutnya.
8. Suku Wedhus Kendhit
Suku
Wedhus Kendhit adalah empat kaki dari kambing kendhit
yang ditanam di empat penjuru telaga yaitu di sebelah lor ‘utara’ kidul ‘selatan’
kulon ‘barat’ dan etan ‘timur’.
9. Ndas Wedhus Kendhit
Ndas
Wedhus Kendhit adalah kepala dari kambing kendhit yang
ditanam beserta darahnya di depan dermaga telaga.
10. Cok Bakal
Cok
Bakal adalah daun pisang yang dibentuk seperti mangkuk (takir) yang didalamnya terdapat bumbu
masak seperti brambang, bawang, teri, gantal, dan lain-lain.
B. Makna
Kultural Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a
1. Gunungan
Gunungan
adalah
lambang gunung Wilis, menurut sejarah atau riwayat telaga Ngebel memiliki
hubungan kerabat dengan gunung Wilis. Bentuk gunungan yang mengerucut ke atas merupakan
symbol menunjuk yang diatas yaitu Tuhan. Sehingga lambang tersebut memberikan
ajarak kepada manusia agar selalu mengingat Tuhannya.
2. Gununga Ageng
Gunungan
Ageng adalah lambang kebesaran Tuhan. Lambang tersebut
mengingatkan kepada manusia akan kebesaran Tuhan sehingga manusia tidak sombong
dengan hal-hal materi (harta benda) yang dimilikinya karena tiada yang bisa
mengalahkan kekuasaan Tuhan.
3. Gunungan Buah Sayuran
Gunungan
Buah Sayuran adalah lambang dari ucapan rasa syukur warga
Ngebel kepada Tuhan YME atas hasil alam yang diberikan. Atas rasa syukur yang
tiada tara itu para warga membagikan hasil pertanian berupa buah dan sayur
dengan harapan Tuhan YME terus meningkatkan hasil pertaniannya.
4. Buceng Alit
Buceng
Alit merupakan gabungan dari kata buceng dan alit. Buceng sendiri
berasal dari kata nyebuta sing kenceng ‘sadarlah
dengan sungguh-sungguh’ maksudnya adalah manusia harus sadar bahwa didunia
hanya sementara semuanya milik Tuhan YME. Sedangkan alit merupakan lambang
kekuatan manusia yang sangat kecil tidak ada bandingannya dengan kekuatan Tuhan
YME. Jadi buceng alit merupakan simbol
peringatan manusia untuk selalu bertakwa kepada Tuhan YME.
5. Beras Abang
Beras
Abang adalah lambang kesuburan karena beras merupakan
makanan pokok manusia. Dipilih warna merah karena merah mengandung filosofi
merah berarti berani maksudnya berani menghadapi permasalahan apa saja.
6. Pitik Abang
Pitik
merupakan
lambang dari keiklasan berkorban. Hal ini dikarenakan ayam memiliki daging yang
enak yang dominan disukai semua orang. Sednagkan abang merupakan lambang dari sifat berani. Sehingga pitik abang adalah simbol bahwa manusia
harus berani dan rela berkorban dalam membela kebaikan.
7. Wedhus Kendhit
Dari namanya kendhit berarti kendhitan yaitu lambang
dari manusia yang suka menggumbar hawa nafsu. Sehingga warga Ngebel berharap
agar mereka semua di jauhkan dari sifat bururk seperti itu.
8. Suku Wedhus Kendhit
Suku
Wedhus Kendhit merupakan makna simbolis tolak bala.
Sedangkan makna daripada pemguburan kaki kambing itu sendiri adalah untuk
menjaga segala bentuk musibah yang akan mendatangi warga Ngebel. Selain itu
dimaknai juga sebagai cara untuk menjaga kerukunan warga, agar tidak saling
berkelahi dan selalu dalam keterntaraman.
9. Ndas Wedhus Kendhit
Ndas
Wedhus Kendhit merupakan simbol dari besar kepala atau
kesombongan. Sedangkan makna dari penguburan kepala kambing tersebut adalah
bahwa dengan dikuburkannya kepala kambing di depan dermaga telaga diharapkan
nantinya tidak ada lagi rasa permusuhan dan besar kepala di antara warga Ngebel.
10. Cok Bakal
Cok
Bakal berasal dari istilah cikal bakal yang merupakan
lambang asal muasal manusia. Bahwa atas perjuangan keras yang dilakukan secara
gigih dan tidak kenal lelah itu pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari peran
Tuhan sebagai tempat manusia berasal dan akan berpulang. Oleh karena itu, cok
bakal merupakan ekpresi tawakal, setelah segala ikhtiar dilakukan.
BAB IV
PENUTUP
A. Penutup
Berdasarkan
penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Istilah-istilah
dalam Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten
Ponorogo mengandung makna leksikal yaitu makna unsur-unsur bahasa sebagai
lambang benda yang disebut gunungan,
gunungan agung, gunungan buah sayuran, buceng alit, beras abang, pitik abang,
wedhus kendhit, suku wedhud kendhit, ndas wedhus kendhit dan cok bakal.
2. Istilah-istilah
dalam Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten
Ponorogo mengandung makna kultural yaitu makna yang berkembang di masyarakat
dari benda yang disebut gunungan,
gunungan agung, gunungan buah sayuran, buceng alit, beras abang, pitik abang,
wedhus kendhit, suku wedhud kendhit, ndas wedhus kendhit dan cok bakal.
B. Saran
Penelitian
iti merupakan penelitian upacara adat Larung Risalah D’oa yang dikaji secara
etnolinguistik. Perlu di adakannya penelitian lebih lanjut dengan kajian yang
sama maupun berbeda guna melestarikan kebudayaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Wakit. 2013. Etnolinguistik: Teori Metode
dan Aplikasinya. Surakarta: Jurursan Sastra daerah FSSR UNS.
B.Soelarto.
1993. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta.
Yogyakarta: Kanisius.
Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik Umum.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dyah,
Andina. 2009. “Istilah Perlengkapan
Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat”,
skripsi. Surakarta : Fakultas sastra dan Seni Rupa.
Endraswara,
Suwardi. 2006. Mistik Kejawen
Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa.
Yogyakarta: Narasi.
Hasan
Alwi. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Herusatoto,
Budiono. 2008. Simbolisme Jawa.
Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Kridalaksana,
Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi
Keempat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Proyek
Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Jawa Timur. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Suratmin,
dkk. 1991. Upacara Tradisional Sekaten
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Proyek Pelita.
Sutardjo,
Imam. 2008. Kajian Budaya Jawa.
Surakarta: Jurusan Sastra Daerah FSSR UNS.
Tim
Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus
Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
PETA KABUPATEN
PONOROGO
DAFTAR INFORMAN
1.
Nama :
Tri Haryanto
Tempat
Tinggal: Ngebel, Ponorogo
Usia : 35 tahun
Agama :
Islam
Pekerjaan : Staff Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Ponorogo
2.
Nama :
KRT. Hartono Dwijo Hadi Purwo, SPd
Tempat
Tinggal: Desa Ngraga, Ngebel, Ponorogo
Usia : 50 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru
3.
Nama :
Warsimin
Tempat
Tinggal: Desa Sahang, Ngebel, Ponorogo.
Usia : 87 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Sesepuh atau uru kunci Telaga Ngebel