Sabtu, 19 Juli 2014

Larung Sesaji Telaga Ngebel Ponorogo




ISTILAH PERLENGKAPAN SESAJI LARUNG RISALAH DO’A
DI TELAGA NGEBEL KABUPATEN PONOROGO
(Suatu Tinjauan Etnolinguistik)


OLEH :
Nama                  : Nastiti Puji Rahayu

JURUSAN SASTRA DAERAH
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014
  




BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang tidak dapat dipisahkan dengan manusia, karena dalam kesehariannya manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa juga mencerminkan kebudayaan suatu daerah karena bahasa mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia. Dengan kata lain bahasa merupakan bagian dari unsur kebudayaan manusia. Bahasa dan budaya juga dipahami aktualitasnya saling berdampingan karena keduanya merupakan ekspresi verbal dan nonverbal kehidupan manusia. Etnolinguistik merupakan perpaduan antara etnologi dan linguistik, sehingga dengan mempelajari etnolinguistik kita dapat mengetahui hubungan antara kebudayaan dengan masalah bahasa.
Menurut Kridalaksana etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan, disebut juga linguistik antropologi; cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relativitas bahasa.
Kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sebuah kebiasaan warisan nenek moyang yang dilakukan manusia dalam lingkup sosial tertentu dan dilakukan terus menerus secara turun temurun, sehingga kebudayaan itu dapat menunjukkan tinggi rendahnya peradaban suatu masyarakat.
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang masih menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya. Keberadaan Kota Ponorogo ini dahulu diawali dengan adanya kesepakatan dalam musyawarah yang dilakukan oleh Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk. Didalam musyawarah tersebut di sepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan “Pramana Raga” yang akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi Ponorogo. Menurut sejarah Raden Katong sampai di wilayah Wengker, lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman. Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman. Sekitar 1482 M pengkonsulidasi wilayah mulai di lakukan. Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil. Dengan persiapan dalam rangka merintis mendirikan kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama.
Hingga saat ini Kabupaten Ponorogo sangat menjunjung tinggi kebudayaan yang dimilikinya dan melestarikan budayanya melalui rangkaian budaya adat atau tradisi yang dilakukannya. Salah satu bentuk usaha pelestarian budaya yaitu dengan adanya kegiatan bernuansa spiritual dan non spiritual. Kegiatan budaya non spriritual maksudnya yaitu kegiatan yang hanya ditujukan untuk meramaikan acara atau untuk hiburan semata. Sedangkan kegiatan budaya spiritual yaitu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan agar membawa berkah dan diberikan perlindungan dari Tuhan YME. Salah satu kegiatan spiritual yang dilakukan dan telah menjadi tradisi setiap tahunnya yaitu upacara adat Larung Risalah Do’a.
Upacara adat merupakan rangkaian suatu perangkat lambang yang berupa benda atau materi, kegiatan fisik, hubungan-hubungan tertentu, kejadian-kejadian, isyarat-isyarat dan bagian-bagian atau situasi tertentu dalam keseluruhan upacara. Upacara adat juga merupakan kegiatan sosial yang telah dilakukan setiap tahunnya yang melibatkan para warga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama (Suratmin, 1991:5).
Upacara adat Larung Risalah Do’a di Kabupaten Ponorogo ini dilakukan di Desa Ngebel, Kecamatan Ngebel. Di Desa Ngebel ini terdapat sebuah telaga yang luas permukaannnya mencapai 1,5 km dengan dikelilingi jalan sepanjang 5 km. Upacara adat Larung Risalah Do’a sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu. Kegiatan tersebut dilakukan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro). Upacara adat ini dilakukan menjadi dua bagian, bagian yang pertama dilakukan malam menjelang tanggal 1 Suro sedangan bagian yang kedua pagi hari tepat tanggal 1 Suro.
Dengan pendekatan etnolinguistik penulis mengambil judul: Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo dengan alasan upacara adat di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo ini merupakan salah satu aset wisata dan budaya yang perlu lestarikan. Istilah perlengkapan sesaji larungan risalah do’a belum pernah diteliti. Sesaji yang digunakan dalam Larung Risalah Do’a ini memiliki makna tersendiri, oleh karena itu perlu dimengerti dan dipahami oleh generai muda yang nantinya akan melestarikan tradisi tersebut. Dengan kata lain upacara tersebut nantinya tidak hanya dipahami sebagai hiburan atau tontonan semata, tetapi juga harus dimengerti maknanya.

B.     Pembatasan Masalah
Penelitian yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo” ini dikaji menggunakan teori etnolinguistik.
Untuk mempermudah penelitian dan tidak melebar dari permasalahan yang ada maka permasalahan dibatasi pada masalah makna leksikal dan makna kultural istilah perlengkapan istilah perlengkapan sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo.



C.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana Makna Leksikal Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo ?
2.      Bagaimana Makna Kultural Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo ?

D.     Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Mendeskripsikan Makna Leksikal Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo.
2.      Mendeskripsikan Makna Kultural Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo.

E.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis maupun praktis.
1.      Manfaat Teoritis
Penelitian yang berjudul “Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo” diharapkan dapat memberikan manfaat untuk melengkapi teori etnolinguistik Jawa.

2.      Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat tentang pengetahuan makna leksikal dan kultural khususnya pada istilah sesaji larung risalah do’a di telaga Ngebel kabupaten Ponorogo serta dapat bermanfaat sebagai bahan acuan untuk para peneliti selanjutnya. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh generasi muda dan Diparta (Dinas Pariwisata) sebagai asset wisata.
F.      Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan peneliti untuk membuat penelitian ini sebagai berikut.
Bab I  :  Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II  :  Landasan teori yang meliputi arti dari istilah, sesaji, larungan, bentuk makna, dan sejarah dan ritual larung risalah do’a.
Bab III  :  Masalah dan pembahasan yang memuat tentang analisis dari makna leksikal dan makna kultural istilah perlengkapan sesaji larungan risalah do’a.
Bab IV  : Penutup, yang berisi tentang saran dari hasil penelitian.













BAB II
LANDASAN TEORI

Landasan teori adalah landasan atau kajian yang bersifat teoritis yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Kajian pustaka yang dipakai dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut.

A.     Istilah
Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan anggota-anggota suatu kelompok yang secara biologis berhubungan (Kridalaksana, 2011:97). Istilah adalah suatu kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna, konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (KBBI: 2000: 390). Dalam Kamus Bausastra Jawa istilah yaitu tembung (tetembungan) sing mengku teges, kaanan, sipat, lan mirtanggan ing babagab tartamtu “kata yang mengandung makna, keadaan, sifat, dan sebagainya yang sesuai pada bagian tertentu (Bausastra Jawa, 2001: 287).

B.     Sesaji
Sesaji hingga sekarang masih digunakan bagi masyarakat Jawa yang mempunyai tradisi sesaji tersebut. Tetapi tradisi sesaji ini sudah tidak dilakukan oleh masyarakat modern karena menurut mereka hal ini di luar rasional mereka dan dilarang agama. Padahal bagi orang Jawa tradisi sesaji ini dilakukan untuk menghormari roh-roh para leluhur.
Sesaji adalah mempersembahkan sajian berupa makanan dan benda lain di upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib (KBBI, 2000: 764).
Menurut Endraswara sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Menurutnya, sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk ‘negosiasi’ spiritual kepada hal-hal gaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus diatas kekuatan manusia tidak menggangu. Dengan pemberian makan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia (2006: 247).

C.     Larungan
Larungan adalah membiarkan hanyut atau menghanyutkan sesuatu (KBBI, 2000: 549). Larungan adalah mbuwang mayit ana ing segara utawa kali ‘membuang mayit ke tengah laut atau sungai’ (Bausastra Jawa, 2001: 210).
Bagi masyarakat Jawa larungan adalah menghanyutkan sesajian ke samudra dengan tujuan penghormatan kepada penunggu samudra (dhanyang). Sesajian yang dilarungkan biasanya berupa gunungan, kepala hewan, dan lain-lain. Larungan dilaksanakan pada hari-hari tertentu biasanya pada tanggal 1 Suro.

D.     Makna
Makna adalah maksud pembicara atau penulis atau pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan (KBBI, 2000: 608). Dalam perkembangannya teori tanda kemudian dikenal dengan semiotik dibagi menjadi tiga cabang yaitu semantik, sintaksis, dan pragmatic (Fatimah Djajasudarma, 1999: 21). Semantik sangat erat hubungannya dengan tanda karena semantic merupakan ilmu yang mempelajari tentang makna tanda.
Pengertian sense ‘makna’ dibedakan dari meaning ‘arti’ dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna dapat dianalisis melalui struktur pemahaman tatanan bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis). Makna dapat diteliti melalui fungsi, dalam pemahaman fungsi hubungan antar unsur. Dengan demikian, kita mengenal makna leksikal dan makna gramatikal (Fatimah Djajasudarma, 1993: 4).
Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal ini mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaan atau konteksnya (Harimurti Kridalaksana, 2008: 149). Menurut Abdul Chaer makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun (2007: 289).
Makna kutlural adalah amakna yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks budaya penuturnya. Konsep makna kultural ini dimaksudkan untuk lebih dalam memahami makna ekspresi verbal maupun nonverbal suatu masyarakat yang berhubungan dengan sitem pengetahuan (cognition system) terkait pola piker, pandangan hidup (way og life), serta pandangan terhadap dunia (world view) suatu masyarakat (Wakit Abdullah, 2013: 20).
Makna kultural adalah makna yang berkembang di masyarakat, dengan begitu kita dapat mengetahui arti-arti dari istilah larungan risalah do’a di telaga Ngebel kabupaten Ponorogo.

E.      Sejarah dan Ritual Larung Risalah Do’a
Larungan risalah do’a dimulai atau diadakan pada tahun 1993. Pada saat itu telaga Ngebel dikenal sebagai tempat yang wingit ‘angker’. Dikatakan angker karena setiap tahun banyak orang yang tenggelam di telaga tersebut, bahkan jumlahnya semakin bertambah setiap tahunnya. Dari kejadian tersebut bapak Winadi yang menjabat menjadi camat di kecamatan Ngebel pada saat itu mengadakan musyawarah dengan para kepala desa dan sesepuh kecamatan Ngebel. Pada saat itu duputuskan untuk diadakan slametan ‘upacara keselamatan’ ditiap pertigaan atau perempatan kecamatan Ngebel pada malam 1 Suro. Selain itu ditambah pula dengan diadakannya larungan di telaga Ngebel. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memberikan penghormatan kepada roh-roh halus dan ucapan rasa syukur serta meminta perlingdungan dari Tuhan. Dinamakannya larung risalah do’a karena sesaji-sesaji yang digunakan dalam larungan itu mengandung simbol permohonan do’a kepada Tuhan.
Konon, setelah diadakannya larungan sesaji di telaga Ngebel tidak ada lagi korban yang tenggelam di telaga tersebut. Maka dari itu larungan tersebut masih terus dilaksanakan dan dilestarikan hingga saat ini karena selain merupakan penghormatan kepada roh-roh halus juga merupakan salah satu asset kebudayaan warisan nenek moyang yang wajib dilestarikan.
Upacara adat larungan sesaji ini dilakukan menjadi dua bagian. Bagian yang pertama dilakukan pada malam hari menjelang tangga 1 suro. Pada bagian ini prosesi yang dilakukan yaitu diawali dengan penyembelihan kambing kendhit. Setelah itu kambing yang telah disembelih diarak mengelilingi telaga. Pada saat mengarak salah satu sesepuh berhenti di tiap-tiap penjuru telaga yaitu penjuru utara, selatan, timur, dan barat untuk menanam kaki kambing yang telah disembelih tadi dan cok bakal. Pengarakan tersebut berakhir di depan dermaga telaga. Pada saat di depan telaga tersebut dilakukan penanaman kepala dan darah kambing serta pelarungan buceng alit dan pitik abang.
Bagian yang kedua dilaksanakan pada pagi hari setelah prosesi bagian yang pertama dilaksanakan. Bagian yang kedua ini sama dengan bagian yang pertama, hanya saja benda yang dilarungkan berbeda. Prosesinya yaitu diawali dengan pengarakan buceng agung dan buceng buah sayuran kemudian dilanjutkan dengan melarungkan buceng agung ke tengah telaga sedangkan buceng buah dan sayur tidak dilarung tetapi diperebutkan oleh orang-orang yang hadir.









BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN

Pada upacara adat Larung Risalah Do’a yang di lakukan di desa Ngebel kecamatan Ngebel kabupaten Ponorogo terdapat beberapa istilah-istilah dalam perlengkapannya. Istilah-istilah tersebut memiliki makna tersendiri baik makna kultural maupun makna leksikal. Istilah-istilah yang terdapat dalam perlengkapan sesaji Larung Risalah Do’a tersebut yaitu :
1.      Gunungan
2.      Gunungan Agung
3.      Gunungan Buah Sayuran
4.      Buceng Alit
5.      Beras Abang
6.      Pitik Abang
7.      Wedhus Kendhit
8.      Suku Wedhus Kendhit
9.      Ndas Wedhus Kendhit
10.  Cok Bakal

A.     Makna Leksikal Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a
1.      Gunungan
Gunungan yaitu rangkaian suatu benda yang berbentuk mengerucut seperti gunung. Benda yang dirangkai tersebut bisa berupa makanan, buah-buahan, sayuran, dan lain-lain.

2.      Gunungan Agung
Gunungan Agung yaitu beras merah yang telah dimasak menjadi nasi kemudian dibentuk menjadi benda yang menyerupai gunung dengan ukuran yang besar.

3.      Gunungan Buah Saryuran
Gunungan Buah Sayuran adalah rangkaian dari buah-buahan dan sayuran yang dirangkai menjadi benda yang menyerupai gunung dengan ukuran yang besar.

4.      Buceng Alit
Buceng Alit adalah beras merah yang dimasak menjadi nasi kemudian dibentuk menyerupai bentuk gunung tetapi berukuran kecil.

5.      Beras Abang
Beras Abang adalah beras yang berwarna merah yang digunakan untuk membuat Gunungan Agung dan Buceng Alit.

6.      Pitik Abang
Pitik Abang adalah ayam jago yang berukuran besar, berwarna merah dan banyak hidup atau berkeliaran di hutan.

7.      Wedhus kendhit
Wedhus Kendhit adalah seekor kambing yang berwarna hitam dengan warna atau garis putih yang melingkar di bagian perutnya.

8.      Suku Wedhus Kendhit
Suku Wedhus Kendhit adalah empat kaki dari kambing kendhit yang ditanam di empat penjuru telaga yaitu di sebelah lor ‘utara’ kidul ‘selatan’ kulon ‘barat’ dan etan ‘timur’.

9.      Ndas Wedhus Kendhit
Ndas Wedhus Kendhit adalah kepala dari kambing kendhit yang ditanam beserta darahnya di depan dermaga telaga.

10.  Cok Bakal
Cok Bakal adalah daun pisang yang dibentuk seperti mangkuk (takir) yang didalamnya terdapat bumbu masak seperti brambang, bawang, teri, gantal, dan lain-lain.

B.     Makna Kultural Istilah Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a
1.      Gunungan
Gunungan adalah lambang gunung Wilis, menurut sejarah atau riwayat telaga Ngebel memiliki hubungan kerabat dengan gunung Wilis. Bentuk gunungan yang mengerucut ke atas merupakan symbol menunjuk yang diatas yaitu Tuhan. Sehingga lambang tersebut memberikan ajarak kepada manusia agar selalu mengingat Tuhannya.

2.      Gununga Ageng
Gunungan Ageng adalah lambang kebesaran Tuhan. Lambang tersebut mengingatkan kepada manusia akan kebesaran Tuhan sehingga manusia tidak sombong dengan hal-hal materi (harta benda) yang dimilikinya karena tiada yang bisa mengalahkan kekuasaan Tuhan.

3.      Gunungan Buah Sayuran
Gunungan Buah Sayuran adalah lambang dari ucapan rasa syukur warga Ngebel kepada Tuhan YME atas hasil alam yang diberikan. Atas rasa syukur yang tiada tara itu para warga membagikan hasil pertanian berupa buah dan sayur dengan harapan Tuhan YME terus meningkatkan hasil pertaniannya.





4.      Buceng Alit
Buceng Alit merupakan gabungan dari kata buceng dan alit. Buceng sendiri berasal dari kata nyebuta sing kenceng ‘sadarlah dengan sungguh-sungguh’ maksudnya adalah manusia harus sadar bahwa didunia hanya sementara semuanya milik Tuhan YME. Sedangkan alit merupakan lambang kekuatan manusia yang sangat kecil tidak ada bandingannya dengan kekuatan Tuhan YME. Jadi buceng alit merupakan simbol peringatan manusia untuk selalu bertakwa kepada Tuhan YME.

5.      Beras Abang
Beras Abang adalah lambang kesuburan karena beras merupakan makanan pokok manusia. Dipilih warna merah karena merah mengandung filosofi merah berarti berani maksudnya berani menghadapi permasalahan apa saja.

6.      Pitik Abang
Pitik merupakan lambang dari keiklasan berkorban. Hal ini dikarenakan ayam memiliki daging yang enak yang dominan disukai semua orang. Sednagkan abang merupakan lambang dari sifat berani. Sehingga pitik abang adalah simbol bahwa manusia harus berani dan rela berkorban dalam membela kebaikan.

7.      Wedhus Kendhit
Dari namanya kendhit berarti kendhitan yaitu lambang dari manusia yang suka menggumbar hawa nafsu. Sehingga warga Ngebel berharap agar mereka semua di jauhkan dari sifat bururk seperti itu.

8.      Suku Wedhus Kendhit
Suku Wedhus Kendhit merupakan makna simbolis tolak bala. Sedangkan makna daripada pemguburan kaki kambing itu sendiri adalah untuk menjaga segala bentuk musibah yang akan mendatangi warga Ngebel. Selain itu dimaknai juga sebagai cara untuk menjaga kerukunan warga, agar tidak saling berkelahi dan selalu dalam keterntaraman.

9.      Ndas Wedhus Kendhit
Ndas Wedhus Kendhit merupakan simbol dari besar kepala atau kesombongan. Sedangkan makna dari penguburan kepala kambing tersebut adalah bahwa dengan dikuburkannya kepala kambing di depan dermaga telaga diharapkan nantinya tidak ada lagi rasa permusuhan dan besar kepala di antara warga Ngebel.

10.  Cok Bakal
Cok Bakal berasal dari istilah cikal bakal yang merupakan lambang asal muasal manusia. Bahwa atas perjuangan keras yang dilakukan secara gigih dan tidak kenal lelah itu pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari peran Tuhan sebagai tempat manusia berasal dan akan berpulang. Oleh karena itu, cok bakal merupakan ekpresi tawakal, setelah segala ikhtiar dilakukan.













BAB IV
PENUTUP

A.     Penutup
Berdasarkan penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Istilah-istilah dalam Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo mengandung makna leksikal yaitu makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda yang disebut gunungan, gunungan agung, gunungan buah sayuran, buceng alit, beras abang, pitik abang, wedhus kendhit, suku wedhud kendhit, ndas wedhus kendhit dan cok bakal.
2.      Istilah-istilah dalam Perlengkapan Sesaji Larung Risalah Do’a di Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo mengandung makna kultural yaitu makna yang berkembang di masyarakat dari benda yang disebut gunungan, gunungan agung, gunungan buah sayuran, buceng alit, beras abang, pitik abang, wedhus kendhit, suku wedhud kendhit, ndas wedhus kendhit dan cok bakal.


B.     Saran
Penelitian iti merupakan penelitian upacara adat Larung Risalah D’oa yang dikaji secara etnolinguistik. Perlu di adakannya penelitian lebih lanjut dengan kajian yang sama maupun berbeda guna melestarikan kebudayaan di Indonesia.








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Wakit. 2013. Etnolinguistik: Teori Metode dan Aplikasinya. Surakarta: Jurursan Sastra daerah FSSR UNS.
B.Soelarto. 1993. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dyah, Andina. 2009. “Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat”, skripsi. Surakarta : Fakultas sastra dan Seni Rupa.
Endraswara, Suwardi. 2006. Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Hasan Alwi. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Jawa Timur. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suratmin, dkk. 1991. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Proyek Pelita.
Sutardjo, Imam. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah FSSR UNS.
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.






PETA KABUPATEN PONOROGO

Description: C:\Users\user\Music\peta-ponorogo2.JPG












DAFTAR INFORMAN

1.      Nama               : Tri Haryanto
Tempat Tinggal: Ngebel, Ponorogo
Usia                 : 35 tahun
Agama             : Islam
Pekerjaan         : Staff Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Ponorogo

2.      Nama               : KRT. Hartono Dwijo Hadi Purwo, SPd
Tempat Tinggal: Desa Ngraga, Ngebel, Ponorogo
Usia                 : 50 tahun
Agama             : Islam
Pekerjaan         : Guru

3.      Nama               : Warsimin
Tempat Tinggal: Desa Sahang, Ngebel, Ponorogo.
Usia                 : 87 tahun
Agama             : Islam
Pekerjaan         : Sesepuh atau uru kunci Telaga Ngebel