Selasa, 26 November 2013

Plot atau kerangka cerita dalam drama menurut buku Herman J Waluyo

Plot atau kerangka cerita dalam drama menurut buku Herman J Waluyo :
a. Protasis atau jalinan awal
b. Epilasio
c. Cataris
d. Catasthrope

analisis kritik strata norma puisi jawa



BAB I
PENDAHULUAN

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki unsur estetis atau keindahan. Puisi juga merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks yang terdiri  dari beberapa strata (lapis) norma. Puisi yang sesungguhnya itu juga  harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Menurut Rene Wellek (1968: 150-151) norma itu harus dipahami sebagai norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan. Menurutnya masing-masing norma dalam sebuah analisis puisi menimbulkan lapis norma di bawahnya yaitu :
1.      Lapis Bunyi
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi. Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi suara itu bukan hanya suara yang tak berarti. Suara itu sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti.
Puisi berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi/suara sajak: suara frasa dan suara kalimat.  Dalam lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat ”istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapat efek puitis atau nilai seni, terutama di sini bunyi-bunyi yang mengandung ekspresi kuat, yang adanya memang disengaja oleh penyair untuk mengekspresikan pengalaman jiwanya.

2.      Lapis arti
Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Akan tetapi, dalam karya sastra yang merupakan satuan minimum arti adalah kata. Kata dirangkai menjadi kelompok kata dan kalimat. Kalimat-kalimat berangkai menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak.




3.      Lapis Objek
Rangkaian satuan-satuan arti itu menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan semuanya itu berangkai menjadi dunia pengarang berupa cerita, lukisan, ataupun pernyataan.

4.      Lapis Dunia
Lapis norma keempat adalah lapis ”dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan secara eksplisit karena sudah terkandung di dalamnya (implisit). Sebuah peristiwa dapat dikemukakan atau dinyatakan ”terdengar” atau ”terlihat”, bahkan peristiwa yang sama.

5.      Lapis Metafisis
Lapis norma kelima adalah lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisik (yang sublim, yang tragis, mengerikan  atau menakutkan, dan yang suci). Dengan sifat-sifat ini karya sastra dapat memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca.













BAB II
PEMBAHASAN

Penerapan analisis puisi berdasarkan strata norma berdasarkan pembagian Roman Ingardens dalam geguritan SUHARTO PUPUT YUSWA karya Siti Fatimah dan KAHANAN PETENG karya Slamet Mul dalam majalah Panjebar Semangat edisi 8 tahun 2008 adalah sebagai berikut :
A.    Strata Norma pada Geguritan “SUHARTO PUPT YUSWA”
“SUHARTO PUPUT YUSWA”
Dening : Siti Fatimah
Sasat kaya dilolosi
Uga lathi tan kuwawa muni
Hambarengi sumebaring warta ing bumi
Angin kang ngobahake gegodhongan mandheg sanalika
Rodha panguripan melu tanpa daya
Tan ana kang bisa suwala
Obah mosiking donya ana kang kagungan kersa
Putra wayah para pangkat lan pejabat
Uga ora keri rakyat kang uripe kerakat
Para dhokter uga para perawat ambudidaya
Usada lan tamba minangka srana nanging
Titi wanci ana astane Gusti
Yen wis titi mangsa
Usada lan tamba tan ana kang tumama
Sugeng tindak Paka Harto
Wangsul ing pangayunaning Gusti
Amal sae tamtu katampi

v  Analisis :
1.      Lapis Bunyi
Pada geguritan ini terdapat beberapa asonansi ada aliterasi. Asonansi yang pertama adalah asonansi a dan i seperti yang terdapat pada bait pertama yaitu “uga lathi tan kuwawa muni” dan “hambarengi sumebaring warta ing bumi”. Asonansi yang kedua adalah asonansi i seperti yang terdapat pada bait kedua baris kelima  yaitu “titi wanci”. Ketiga terdapat asonansi a seperti yang terdapat pada bait pertama dan ketiga yaitu Rodha panguripan – tanpa daya – tan kuwawa - tan ana kang bisa suwala – kagungan kersa – putra wayah – minangka srana - usada lan tamba tan ana kang tumama. Terakhir adalah asonansi u seperti yang terdapat pada bait ketiga yaitu “wangsul ing pangayunaning Gusti”.
Selain asonansi juga terdapat aliterasi. Aliterasi yang pertama adalah aliterasi s seperti yang terdapat pada bait pertama baris pertama yaitu sasat kaya dilolosi”. Kemudian juga terdapat aliterasi g pada bait pertama baris keempat yaitu “ngobahake gegodhongan”. Selanjutnya adalah aliterasi p dan t pada bait kedua baris pertama yaitu para pangkat lan pejabat”. Dan yang terakhir adalah aliterasi k pada bait pertama baris terakhir yaitu kang kagungan kersa”.
Pada umumnya dalam puisi ini bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a, seperti tampak dalam ketiga bait, yang dipergunakan sebagai lambang rasa, kesedihan dan kepiluan.

2.      Lapis Arti
Bait pertama : Perasaan kaget dan tak percaya dirasakan oleh aku lirik. Sebuah kabar dunia yang sangat mencengangkan dan membuat si aku lirik tak kuasa berkata. Serasa semua yang hidup ikut mati. Tetapi tidak ada yang bisa melawan dan menghindar dari takdir. Pemilik alam semesta sedang memanggil salah satu hambanya.
Bait kedua : Aku lirik menggambarkan bahwa anak cucu dan sebua pejabat dan penguasa negara. Juga tidak lupa para rakyat-rakyat kecil. Merasakan sedih dan duka yang mendalam karena kepergiannya. Dokter dan para perawat sudah berusaha merekadaya. Menyembuhkan penyakit yang sedang dideritanya. Usaha dan cara penyembuhan telah dilakukan. Tetapi apalah daya, semua itu tidak ada yang bisa melawan takdir yang maha Kuasa. Semuanya ada di tangan Tuhan.
Bait ketiga : Jika sudah tiba saatnya, usaha dan cara akan sia-sia. Tidak ada yang bisa melawan kehendak-Nya. Si aku lirik mengucapkan selamat jalan kepada Pak Harto dan berdoa supaya diberukan jalan terang serta diterima amal ibadahnya.

3.      Lapis Objek
Pelaku atau tokoh: aku lirik. Latar waktu: tidak jelas. Latar tempat : dimuka bumi. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh pengarang tetapi juga terjadi di kehidupan nyata. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur cerita (alur) seperti berikut :
Aku lirik merasakan kesedihan dan pilu yang mendalam. Aku lirik sangat kaget mendengar kabar yang beredar hingga ia tidak dapat berkata apa-apa. Dia merasakan kehidupan dunia serasa ikut mati. Angin yang menggerakkan daun terhenti sesaat. Roda kehidupan ikut tak berdaya. Tidak ada yang bisa melawan takdir yang Kuasa. Tuhan telah memanggil salah satu hambanya. Tidak hanya aku lirik yang merasakan kesedihan, bahkan para pejabat dan rakyat kecilpun juga merasakan sedih atas kepergian salah satu hamba Tuhan ini. Segala cara dan usaha telah di upayakannya, dokter dan perawat telah berusaha semaksimal mungkin menyembuhkan penyakit yang dideritanya, tetapi hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Jika semua sudah tiba pada waktunya segala usaha hanyalah sia-sia. Tidak ada yang bisa melawan kehendak Tuhan. Aku lirik menyatakan selamat jalan untuk Pak Harto dan berdoa amal baiknya di terima Tuhan.

4.      Lapis Dunia
Lapis “dunia” yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak sebagai berikut.
Dipandang dari sudut pandang tertentu kekasih si aku itu menarik, tampak dari kata-kata: gadis manis (bait kesatu). Pada bait kedua baris pertama dan kedua dinyatakan suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang tenang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisahan si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia
Dipandang dari sudut pandang tertentu Pak Harto merupakan sosok yang sangat di kagumi. Tampak dari kata-kata yang secara implisit mengandung arti kesedihan yang dialami oleh pengarang karena Pak Harto telah meninggal. Kata-kata tersebut diantaranya : sasat kaya dilolosi – uga lathi tan kuwawa muni – hambarengi sumebaring warta ing bumi (bait pertama).
Pada bait kedua dinyatakan bahwa yang merasakan kesedihan karena Pak harto meninggal tidak hanya aku lirik tetapi juga para pejabat dan rakyat. Dokter dan perawat juga telah berusaha mengobati penyakit yang di derita Pak harto, tetapi usaha itu sia-sia jika Tuhan telah berkehendak untuk memanggilnya.
Bait ketiga menyatakan bahwa jika memang sudah tiba saatnya ajal menjemput tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan. Aku lirik mengucapkan selamat jalan kepada Pak Harto.

5.      Lapis Metafisis
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi/merenung. Dalam puisi ini berupa kehendak Tuhan yang maha Kuasa : yaitu meskipun segala cara dan usaha telah dilakukan dan diupayakan semaksimal mungkin oleh manusia yang ahli sekalipun,  jika Tuhan berkehendak lain maka usaha tersebut akan sia-sia. Tidak ada yang bisa melawan kehendak Tuhan karena Dialah yang maha segalanya pencipta alam semesta ini.

v  Penilaian :
Dalam puisi ini terdapat koherensi atau pertautan yang erat di antara unsure-unsurnya, satuan-satuan bermaknanya. Ada kesatuan imaji. Imaji sosial: sugeng tindak Pak Harto dan amal sae tamtu katampi. Sesuai dengan itu suasananya sedih: sasat kaya dilolosi, tan kuwawa muni, tanpa daya, dan mandheg sanalika. Latarnya di muka bumi, maka objek-objeknya: angin, gegodhongan, donya, pangkat lan pejabat, , para dhokter uga para perawat, dan rodha panguripan.
Antara pemilihan kata (beserta artinya) dan bunyi katanya saling memperkuat makna. Aliterasi yang berturut-turut: para pangkat, pejabat, rakyat, kesrakat, serta ulangan bunyi dalam: tanpa daya, tan kuwawa, tan ana kang tumama, tan ana kang bisa suwala, semua itu member intensitas arti/makna kesedihan, kepiluan dan rasa bela sungkawa yang mendalam dalam ketiga bait dalam puisi.
Jadi, antara bunyi, pemilihan kata, frasa, kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek puisinya. Dengan kata lain: antara bunyi, pemilihan kata, frase, kalimat, ide, dan temanya diekuivalensikan dan disusun dalam sebuah struktur yang kompak.
Pada bait pertama dinyatakan adanya perasaan kaget yang bercampur kecewa karena kematian sosok Pak Harto. Kemudian pada bait kedua erjadi klimaks yang menyatakan bahwa aku lirik seperti merasakan suatu perasaan tidak ikhlas karena kepergian sosok Pak Harto. Tetapi pada bagian akhir bait kedua dan pada bait ketiga dinyatakan perasaan ikhlas dan perasaan sadar aku lirik bahwa jika sudah sampai pada waktunya manusia akan kembali pada-Nya. Perasaan ikhlas tersebut juga diperkuat dengan adanya iringan do’a dari aku lirik atas kepergian Pak Harto dan ucapan selamat jalan. Pada bait ini merupakan anti klimaks yang dapat membuat orang lebih berkontemplasi akan tidak ada yang tau kapan ajal akan menjemput.



















B.     Strata Norma pada Geguritan “KAHANAN PETENG”
“KAHANAN PETENG”
Dening : Slamet Mul

Sunare srengenge
Gumebyar
Madhangi jagad
Semut ireng ndhelik ngisor watu ireng
Cetha wala-wala
Saiki
Langit lagi kesaput medhung
Surem-surem
Sorote lampu awan
Ora ndadekna kahanan padhang
Iku mung aweh tandha
Yen sakjane kahanan ora tumata
Swarane langit
Gumlegar ngampar-ngampar
Dhuh, Gusti kang ngatur langit lan bumi
Tuduhna kula lampu
Ingkang saged madhangi qolbu

v  Analisis :

1.      Lapis Bunyi
Pada geguritan ini terdapat beberapa asonansi ada aliterasi. Asonansi yang pertama adalah asonansi a seperti yang terdapat pada cetha wela-wela – ora ndadekna – kahanan padhang – kahanan ora tumata gumlegar ngampar-ngampar. Asonansi yang kedua adalah asonansi i seperti yang terdapat pada saiki – langit lagi – langit lan bumi. Terakhir adalah asonansi u seperti yang terdapat pada kesaput mendhung – tuduhna kula lampu. Pola sajak awal dan akhir yang saling dipertentangkan: gumebyar – madhangi jagat dipertentangkan dengan langit lagi kesaput mendhung, cetha wela-wela dipertentangkan dengan surem-surem.
Selain asonansi juga terdapat aliterasi. Aliterasi yang pertama adalah aliterasi s seperti yang terdapat pada sunare srengenge – surem-surem”. Kemudian juga terdapat aliterasi r seperti yang terdapat pada gumlegar ngampar-ngampar”.
Pada umumnya dalam puisi ini bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a, seperti tampak dalam geguritan yang hanya terdiri dari satu bait tersebut, yang dipergunakan sebagai lambang rasa, keprihatinan dan ketabahan.

2.      Lapis Arti
Geguritan ini hanya terdiri dari satu bait dimana lapis artinya adalah sebagai berikut : Sinar matahari sangat terang menerangi alam raya ini. Semut-semut hitam kecil yang bersembunyi sekalipun dapat terlihat secara jelas karena terangnya. Tetapi sekarang, langit sedang tersaput oleh mendung. Sorot lampu hanya suram-suram. Aku lirik menggambarkan kalau itu semua hanyalah sebuah pertanda bahwa sebenarnya keadaan dunia sekarang sudahlah tidak tertata. Langit berubah menjadi gelap dan berbunyi menggelegar. Aku lirik memhon kepada Tuhan agar diberikan jalan terang di keadaan dunia yang semakin gelap ini.

3.      Lapis Objek
Pelaku atau tokoh: aku lirik. Latar waktu: sekarang (keadaan dunia saat ini). Latar tempat : dimuka bumi. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur cerita (alur) seperti berikut :
Aku lirik merasakan keprihatinan dan meratapi sebuah keadaan dunia saat ini. Aku lirik menggambarakan bahwa keadaan atau kehidupan dunia dahulu lebih tertata atau terlihat menyenangkan. Dia mengibaratkan keadaan seperti itu dengan sinar matahari yang memancarkan cahaya terang. Tetapi keadaan baik tersebut sekarang sedang terhalang dan hilang. Keadaan dunia saat ini sudah mulai tidak tertata seperti dahulu lagi. Aku lirik mengibaratkan keadaan seperti itu dengan langit yang sedang tertutup mendung. Dengan keadaan dunia sekarang ini aku lirik memohon dan berdoa kepada Tuhan yang maha Esa agar diberikan jalan terang dan hati yang bersih.


4.      Lapis Dunia
Lapis “dunia” yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak sebagai berikut.
Dipandang dari sudut pandang tertentu keadaan dunia saat ini yang dinyatakan oleh aku lirik adalah sedang mengalami kemunduran dari keadaan dunia sebelumnya (dahulu). Hal ini tampak dari ksata-kata : saiki – langit lagi kesaput mendhung – surem-surem – sorote lampu awan – ora ndadekna kahanan padhang bumi (baris enam sampai sepuluh).
Keseluruhan baris dalam satu bait itu menceritakan keprihatinan aku lirik yang keadaan dunia saat ini sedang mengalami kemunduran. Dunia yang dahulu diibaratkan terang benderang bagaikan sinar matahari kini sedang dilanda kegelapan. Keadaan dunia sudah tidak tertata lagi. Aku lirik kemudian memohon kepada Tuhan yang maha Kuasa agar diberikan jalan terang dan hati yang bersih dalam menghadapi keadaan dunia yang sudah tidak tertata lagi ini.

5.      Lapis Metafisis
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi/merenung. Dalam geguritan ini terdapat lapis metafisis berupa peringatan untuk selalu mengingat Tuhan : yaitu meskipun keadaan dunia telah goyah, banyak sekali godaan-godaan di dunia yang membuat keadaan dunia ini semakin tidak tertata lagi seperti dulu, kita diwajibkan untuk selalu mengingat dan berdoa serta berlindung kepada Tuhan yang maha Kuasa. Hal ini seperti yang dilakukan oleh aku lirik dalam puisi, yakni berdoa dan mohon perlindungan agar diberikan jalan yang terang dan hati yang bersih kepada Tuhan dalam menghadapi keadaan dunia yang sedang mengalami kemerosotan ini.


v  Penilaian :
Dalam puisi ini terdapat koherensi atau pertautan yang erat di antara unsur-unsurnya, satuan-satuan bermaknanya. Ada kesatuan imaji. Imaji keprihatinan: kasaput mendhung, surem-surem, ngampar-ngampar, madhangi qolbu. Sesuai dengan itu suasananya memprihatinkan : ora ndadekna kahanan padhang, kahanan ora tumata, iku mung aweh tandha. Latarnya di dunia, maka objek-objeknya: srengenge, madhangi jagat, watu ireng, langit, kasaput mendhung.
Antara pemilihan kata (beserta artinya) dan bunyi katanya saling memperkuat makna. Aliterasi yang berturut-turut: sunare, srengenge, gumebyar, mandhangi jagat, semut ireng, watu ireng, serta ulangan bunyi dalam: cetha wela-wela, ngampar-ngampar, ora tumata, semua itu member intensitas arti/makna memprihatinkan dan membuat perenungan.
Pada bagian akhir bait suasananya berkebalikan dengan di bagian awal. Pada bagian awal suasananya terlihat menyenangkan tetapi di bagian akhi suasananya menjadi memprihatinkan. Terlebih-lebih pada kata-kata ora ndadekna kahanan padhang, kahanan ora tumata.
Jadi, antara bunyi, pemilihan kata, frasa, kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek puisinya. Dengan kata lain: antara bunyi, pemilihan kata, frase, kalimat, ide, dan temanya diekuivalensikan dan disusun dalam sebuah struktur yang kompak.
Pada bagian awal dinyatakan bahwa keadaan dunia saat dulu sangat menyenangkan. Diibaratkan dengan terangnya sinar matahari yang menyinari jagad raya ini. Tetapi pada bagian tengah terjadi klimaks yaitu dimana keadaan baik tersebut berbalik dengan keadaan dunia saat ini. Saat ini keadaan dunia sedang mengalami kemrosotan. Di ibaratkan oleh aku lirik dengan langit yang tadinya cerah tetapi sedang tertutu oleh mendung. Kemudian pada bagian akhir merupakan anti klimaksnya dimana aku lirik berdo’a dan memohon perlindungan kepada Tuhan yang maha Esa agar diberikan jalan yang terang serta hati yang bersih dalam menghadapi keadaan dunia yang telah goyah seperti saat ini. Pada anti klimaks dapat membuat orang lebih berkontemplasi akan selalu mengingat Tuhan Sang Pencipta Alam.










BAB III
PENUTUP

Demikianlah yang dapat  dipaparkan mengenai kritik atas geguritan Suharto Puput Yuswa karya Siti Fatimah dan Kahanan Peteng karya Slamet Mul dalam majalah Panjebar Semangar edisi8 tahun 2008. Dari uraian kritik di atas tampaklah bahwa puisi ini memiliki nilai seni yang baik yang ditandai dengan adanya koherensi antar unsurnya. Puisi ini juga dapat disebut sebagai karya besar karena memancing pembaca untuk berkontemplasi merenungkan makna hidup dan nasib.
Dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman senantiasa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini untuk penulisan makalah berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.














KATA PENGANTAR

Alhamdulilah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Karena berkat petunjuk dan kemudahan dari-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penilaian berdasarkan Strata Norma dalam Geguritan Suharto Puput Yuswa Karya Siti Fatimah dan Kahanan Peteng Karya Slamet Mul dalam Majalah Panjebar Semangat Edisi 8 Tahun 2008”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahakan untuk Rasullulah Muhammad SAW.
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra. Dalam penyelesaian penyusunan makalah ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu penyelesaian tugas ini.
Tidak ada gading yang tak retak  begitupun dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan karena sifat manusia yang tidak memiliki kesempurnaan dalam segi pemikiran dan lainnya. Sehingga kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis bagi kelanjutan penyusunan makalah selanjutnya. Demikian penyusunan makalah ini semoga berguna bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.


Surakarta, 11 Mei 2013


Penulis







MAKALAH
PENILAIAN BERDASARKAN STRATA NORMA
DALAM GEGURITAN “SUHARTO PUPUT YUSWA” KARYA SITI FATIMAH
DAN “KAHANAN PETENG” KARYA SLAMET MUL DALAM MAJALAH
PANJEBAR SEMANGAT EDISI 8 TAHUN 2008


 








Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra
yang diampu oleh Drs. Aloysius Indratmo, M.Hum

Disusun oleh :
Nama                  : Nastiti Puji Rahayu
NIM                   : C0111019

JURUSAN SASTRA DAERAH
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2013